TopCareer.id – Beberapa waktu lalu sempat viral soal ditolaknya seorang lansia bertransaksi menggunakan uang tunai di sebuah gerai roti.
Fatkur Huda, dosen ekonomi syariah Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya) pun menegaskan bahwa uang tunai atau rupiah tetap menjadi alat pembayaran yang sah dan wajib diterima dalam setiap transaksi di wilayah Republik Indonesia.
“Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas melarang setiap pihak menolak pembayaran menggunakan rupiah, kecuali jika terdapat keraguan terhadap keaslian uang tersebut,” kata Fatkur, mengutip laman UM Surabaya, Rabu (31/12/2025).
Menurutnya, pelaku usaha yang menolak pembayaran tunai berisiko terkena sanksi pidana berupa kurungan paling lama satu tahun serta denda maksimal Rp200 juta.
Ketentuan ini, kata Fatkur, dibuat untuk melindungi hak masyarakat dalam bertransaksi dan memastikan kedaulatan rupiah tetap terjaga.
Baca Juga: BI Luncurkan QRIS Tap untuk KRL hingga MRT
Ia mengakui bahwa Bank Indonesia terus mendorong perluasan sistem pembayaran non-tunai seperti kartu debit, kartu kredit, uang elektronik, mobile banking, internet banking, BI-FAST, hingga QRIS.
Di 2025, transaksi QRIS bahkan tumbuh hingga 148,5 persen dibandingkan tahun sebelumnya, menunjukkan pesatnya adopsi transaksi digital di masyarakat.
Namun, Fatkur menegaskan bahwa tidak semua masyarakat memiliki kemampuan dan akses yang sama terhadap layanan keuangan digital.
Data Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025 yang dirilis OJK dan BPS mencatat, indeks literasi keuangan nasional tercatat sebesar 66,46 persen, sementara inklusi keuangan mencapai 80,51 persen.
“Angka ini memang menunjukkan peningkatan, tetapi kesenjangan masih nyata, terutama di wilayah pedesaan. Kelompok usia lanjut dan remaja juga masih memiliki tingkat literasi digital yang relatif rendah,” kata Fatkur.
Ini menunjukkan bahwa uang tunai masih sangat dibutuhkan oleh sebagian masyarakat.
Baca Juga: 10 Pekerjaan dengan Rata-Rata Upah Tertinggi versi BPS per Februari 2025
Penolakan terhadap pembayaran tunai pun berpotensi menutup akses kelompok tertentu untuk bertransaksi, yang pada akhirnya malah menimbulkan ketidakadilan sosial.
Fatkur menekankan, digitalisasi pembayaran memang penting untuk mendorong efisiensi ekonomi nasional. Namun, penerapannya harus dilakukan secara inklusif.
Pelaku usaha, kata dia, seharusnya tetap menyediakan opsi pembayaran tunai sebagai bentuk kepatuhan hukum sekaligus empati sosial.
“Kemajuan teknologi seharusnya mempermudah kehidupan masyarakat, bukan justru menyulitkan,” kata Fatkur.
“Pembayaran tunai dan digital perlu berjalan berdampingan agar semua lapisan masyarakat dapat menikmati manfaat ekonomi modern tanpa kehilangan hak dasarnya sebagai pengguna rupiah,” pungkasnya.













