Topcareer.id Setiap editor menemukan kendala sekaligus tantangan dalam bekerja. Kendala itu berupa materi yang diberikan, yakni hasil syuting yang biasanya tidak cukup untuk meraciknya jadi film utuh yang baik. Nah, di situlah pintar-pintar editor dalam mengemasnya menjadi hasil yang baik.
“Bagaimana kami dengan materi yang ada, tapi tetap bisa memberi nilai tambah pada film. Itu tantangan terberatnya,” ucap Editor Film Senior Indonesia, Sentot Sahid kepada TopCareer.id.
Jika mengalami hal seperti itu, kata dia, ada kalanya jika memungkinkan ya dilakukan syuting ulang. Namun, beberapa kasus malah memanfaatkan bahan yang ada semaksimal mungkin karena syuting tak mungkin dilakukan lantaran beberapa faktor.
Bisa saja para pemainnya sudah berubah karakter untuk berperan di film lain dengan gaya rambut yang berbeda, atau memang film tersebut dibuat dengan budget yang terbatas.
“Karena pada akhirnya ada produksi yang terbatas ya, dia nggak bisa syuting lagi. Film-film tertentu bisa saja ketika sudah selesai ngedit, ternyata perlu syuting tambahan. Kalau sekarang sih yang umum, syuting tambahan lebih kepada stockshoot, syuting yang tidak melibatkan pemain.”
Lama mengedit film
Untuk lama proses editing sendiri, Sentot mengaku bahwa itu semua tergantung pada jenis filmnya. Ia mencontohkan, untuk film Chrisye yang ia garap, memiliki genre drama musikal sehingga menghabiskan waktu sampai 7 bulan editing. Ada pula yang hanya memakan waktu dua bulan saja.
Pada dasarnya, setiap editor film di belahan dunia manapun punya job desk yang sama dan kendala juga tak jauh berbeda. Yang membedakan adalah sekreatif apa editor itu membuat film menjadi luar biasa atau malah tidak memiliki nilai yang sebenarnya ingin disampaikan para film maker. *
Editor: Ade Irwansyah