Topcareer.id – Ungkapan yang bilang orang lapar gampang marah, benar adanya. Hasil penelitian ternyara menyebut orang lapar juga mudah tersulut mengutarakan ujaran kebencian.
Ujaran kebencian di sosial media yang disebar efeknya tentu buruk bagi siapapun. Seseorang membuat ujaran kebencian tentu beragam, tapi salah satu pemicunya bisa karena lapar. Lapar ternyata ada kaitannya dengan meningkatnya ujaran kebencian di media sosial.
Dalam pemaparan yang diberikan oleh Marketing Manager Ready to Eat & Beverage Kraft Heinz ABC Indonesia, Anissa Permatadietha, penelitian dilakukan oleh ABC Indonesia bersama partner peneliti untuk mengetahui adakah kaitannya antara rasa lapar dan ujaran kebencian.
Dari penelitian itu disebutkan Dietha, dari awal bulan Januari 2019 hingga Juli 2019 ada 15,2 juta volume conversation di sosial media dan sebanyak 70 ribu lebih pesan kebencian muncul setiap harinya. Dari data itu, tentu isu ujaran kebencian ini perlu diatasi.
“Kami coba lihat ada nggak kaitannya dengan rasa lapar. Per jam meningkatnya kapan saja? Bahwa dari jam 9-12 siang itu negatifnya (ujaran kebencian) meningkat, ini jam-jam orang lapar. Setelah jam makan, kemudian trennya (ujaran kebencian) turun sedikit. Lalu naik lagi di jam 7 sampai 8 malam,” ucap Dietha dalam acara ABC Sari Kacang Hijau #AntiMaper di Crowne Plaza, Kamis (26/9/2019).
Bekerja sama dengan Xquisite Informatics, ABC Sari Kacang Hijau menemukan bahwa ujaran kebencian hadir dan meningkat pada jam-jam lapar. Dalam dua tahun terakhir pun ujaran kebencian itu trennya naik, yakni pada 2017 sebesar 3,3 juta menjadi 15,2 juta di 2019.
Dietha melanjutkan, pihaknya percaya bahwa salah satu sebab munculnya emosi marah dan kebencian itu rasa lapar. Denga tujuan megurangi kemarahan di sosial media, ABC Sari Kacang Hijau meluncurkan sebuah program kampanye Anti Maper (marah laper).
“Ini merupakan kampanye digital holistik, di mana kami bekerja sama dengan influencer dan salah satu platform media sosial di Indonesia. Melalui kampanye ini, kami mengimbau para pengguna media sosial untuk mengurangi unggahan kemarahan mereka, sebab faktanya mereka bukanlah marah, namun hanya lapar,” ucap Dietha menerangkan.
Ahli Gizi, dr Juwalita Surapsari, SpGK juga menjelaskan hubungan antara rasa lapar dan emosi marah. Kondisi yang disebut Maper ini perlu diperkenalkan kepada publik agar dampaknya dapat sepenuhnya dipahami.
“Ketika orang mengabaikan rasa lapar, orang akan merasa lebih tidak senang dan mudah marah. Hal ini mengarah pada penyebaran emosi negatif, termasuk, apalagi di media sosial yang saat ini hanya tinggal mengetukkan jari saja,” jelas Juwalita.
Lebih lanjut lagi ditambahkan bahwa kita semua dapat menghindari rasa Maper ini dengan mengkonsumsi nutrisi yang tepat. Pengaturan gula darah merupakan kunci untuk mengontrol emosi. *
Editor: Ade Irwansyah