TopCareerID

Berkirim Pesan di Smartphone Bikin Orang Stres?

Topcareer.id – Lebih sering berkirim pesan atau ngobrol di smartphone daripada bicara langsung? Hati-hati keseringan melakukan hal itu bisa memicu stres. Kok, bisa?

Berdasar studi yang dilakukan oleh Viber, texting, chit-chat atau ngobrol di smartphone ternyata berpotensi menjadi sumber stres harian, apalagi untuk generasi milenial.

Laporan “21st Century Messaging Ethiquette” oleh Viber, aplikasi panggilan dan teks yang melindungi pesan pengguna melalui enkripsi, menyurvei 2.400 pria dan wanita di Amerika Serikat dan Inggris pada kebiasaan dan sikap pesan teks mereka.

Baca juga: Harus Berapa Kali Bersihkan Handphone untuk Hindari Kuman?

“Munculnya ponsel telah menciptakan peluang baru untuk terhubung dengan teman dan keluarga, kapanpun, di mana pun. Tetapi platform baru ini juga telah membuat pengguna mengembangkan standar yang sangat ketat untuk apa yang mereka anggap sebagai perilaku yang ‘dapat diterima’ saat percakapan online,” kata Cristina Constandache, Chief Advertising Officer di Viber, dilansir StudyFinds.

Cuma di-read bikin resah

Studi itu menemukan bahwa satu dari lima peserta setuju bahwa texting sangat menegangkan. Sementara, satu dari sembilan mengakui bahwa mereka mengabaikan semuanya. Tetapi masalah ini tampaknya mempengaruhi generasi milenial paling banyak. Sekitar tiga perempat baby boomer tidak merasa texting merupakan hal yang membuat stres, dibandingkan dengan 58 persen generasi milenial.

Tetap saja, menunggu tanggapan balasan pesan yang dikirim bisa membuat orang stres. Siapa yang merasa stres kalau teks atau chat cuma di-read dan tidak mendapat balasan dari mantan atau gebetan? Atau resah ketika tak kunjung menerima balasan pesan dari klien?

Baca juga: Tak Bisa Jauh dari HP? Jangan-jangan Kamu Idap Nomophobia

Berdasar studi ini, 31 persen peserta merasa bahwa seharusnya tidak ada batasan waktu tentang berapa lama seseorang dapat menanggapi pesan. Tapi, 23 persen setuju bahwa tanggapan harus selalu dikirim kembali dalam satu jam.

Sebanyak 20 persen merasa empat jam adalah tepat, sementara 16 persen percaya orang memiliki waktu hingga satu hari untuk kembali ke pengirim.

Responden juga merasa ketat tentang chat yang berhubungan dengan pekerjaan. Tiga puluh persen setuju bahwa menerima chat dari seorang rekan tentang pekerjaan setelah jam kantor tidak tepat – kecuali itu adalah keadaan darurat mutlak.

Tetapi 12 persen mengatakan itu tidak dapat diterima dalam keadaan apa pun. Sebaliknya, 24 persen baik-baik saja dengan teks kerja setelah jam kerja.

Mengenai apa yang paling membuat orang marah ketika berbicara tentang texting, 32 persen tidak tahan ketika seseorang menghilang di tengah percakapan. Dua puluh dua persen membenci tata bahasa yang buruk. Lalu, 19 persen benci ketika pengirim berlebihan dengan akronim, emoji, dan bentuk-bentuk teks lainnya. *

Editor: Ade Irwansyah

Exit mobile version