TopCareerID

Review Perempuan Tanah Jahanam: Joko Anwar Sekali Lagi Bicara Ibuisme

Topcareer.id – Seorang netizen memberi komentar mengharukan usai nonton Perempuan Tanah Jahanam pada Joko Anwar sutradaranya. Setelah puja-puji begini ia tulis, “Bang Joko Anwar, sehat-sehat terus ya biar bisa berkarya bikin film bagus! “Dijawab Joko: “Amin.. Ini udah mulai nge-gym.”

Well, bila Perempuan Tanah Jahanam ini merupakan film terakhir Joko Anwar, saya tak keberatan. Tentu bukan maksud hati saya mengharapkan hal buruk terjadi pada sang sineas. Maupun saya tak ingin melihat karya-karyanya lagi. Namun, sebagai sebuah film yang dibikin Joko Anwar, Perempuan Tanah Jahanam adalah karya yang sempurna: baik dari suguhan sebagai karya sinema atau menyampaikan visi sutradaranya.

Sepanjang kariernya sebagai sutradara sejak 2006, Joko Anwar telah melahirkan delapan film. Lima di antaranya–termasuk yang teranyar, Perempuan Tanah Jahanam (PTJ)–berada dalam keluarga besar film thriller, horor, supranatural.

Baca juga: 4 Alasan Kenapa Joko Anwar Larang Anak Kecil Nonton Perempuan Tanah Jahanam

Maka, sebetulnya, PTJ adalah ketika Joko berada di zona nyamannya. Ia sudah hapal luar dalam dengan film jenis ini. Pengetahuan dan pengalamannya telah lebih dari cukup. Maka, bukan yang istimewa betul bila PTJ adalah film yang masuk tiga besar karya terbaiknya sejauh ini. (Dua lagi adalah Pintu Terlarang dan Kala.)

Sejak memulai debut penyutradaraan lewat Janji Joni (2006) yang fun, komikal dan tak ubahnya sepucuk surat cinta untuk sinema dari seorang movie buff, Joko melompat tinggi lewat Kala di tahun berikutnya. Film Kala juga bisa disebut homage atau penghormatannya pada film noir, sesuatu yang menunjukkan pembuatnya paham bahasa sinema dunia. Namun kulit dalamnya adalah sebuah thriller bernuansa supra-natural dicampur kisah mitologi buatan sang sineas, diramu komentar sosial. Di sini, Joko telah menunjukkan ia sejak awal lebih merasa nyaman menggarap sesuatu yang serba gelap.

“Ibuisme” rasa Joko Anwar

Kemudian lewat Pintu Terlarang, Joko memainkan apa yang menjadi signature-nya: seputar “ibuisme.” Di Pintu Terlarang, tokohnya yang merupakan pematung menghasilkan karya berupa patung-patung ibu hamil yang di dalamnya terdapat janin-janin buah aborsi. Tampaknya bukan kebetulan, adegan paling dikenang dari Janji Joni adalah saat Joni membantu wanita melahirkan.

Baca juga: Review Film Joker: Kala Kebobrokan Sosial dan Depresi Melahirkan Penjahat

Bila di Janji Joni dan Pintu Terlarang perihal “ibuisme” hanya jadi catatan kaki yang harus dicari makna tersurat oleh penontonnya, maka Pengabdi Setan menaruh sosok ibu di sentral cerita.

Teror keluarga di Pengabdi Setan berpusat pada sosok sang ibu. Yang sudah nonton tahu, tragedi si ibu di sana bermula dari tuntutan peran ganda bagi perempuan di ranah publik dan domestik: perempuan punya kewajiban menjadi istri dan ibu. Kewajiban itu antara lain menghasilkan keturunan. Kegagalan melakukan kewajiban itu memunculkan tekanan. Hal ini yang membuat sosok ibu mengabdi pada setan dan jadi hantu.

Persoalan peran ibu ini kita temukan kembali dalam Perempuan Tanah Jahanam. Ada banyak perempuan di film ini: ada tokoh utamanya, Maya alias Rahayu (diperankan Tara Basro) dan sahabatnya, Dini (Marissa Anita) yang berusaha jadi wanita mandiri di kota. Mereka mendirikan usaha toko baju, namun di ambang kebangkrutan. Peluang datang setelah mendapati Maya bisa jadi punya rumah besar yang di sebuah desa untuk menambah modal usaha.

Perempuan lain adalah wanita-wanita desa misterius yang disinggahi dua sahabat itu. Ada yang berperan sebagai penerus keturunan (baca: wanita hamil). Juga seorang ibu dari kepala desa setempat, Nyi Misni (dimainkan Christine Hakim) yang memegang kunci segala peristiwa mengerikan di desa “jahanam” itu.

Perempuan-perempuan di PTJ melakukan perannya masing-masing. Maya dan Dini berperan sebagai perempuan mandiri, bertahan hidup sendiri. Namun ada pula yang memilih kodrat sebagai ibu, melahirkan anak. Sementara Nyi Misni berperan sebagai ibu yang melindungi putranya sepenuh jiwa raga.

Order-disorder-order

Meminjam teori order-disorder-order, masing-masing perempuan menemukan disorder-nya. Maya dan Dini diburu warga desa. Wanita-wanita hamil melahirkan bayi-bayi yang dikutuk yang kemudian dibenamkan. Sedang Nyi Misni mendapati “ketenteraman” di tengah status quo selama dua puluh tahun terancam dengan kedatangan Maya.

Dengan lebih gamblang, Joko mengaduk-aduk dan membongkar wacana peran perempuan di masyarakat. Ia tak menggugat perempuan yang terpenjara karena harus menghasilkan keturunan bisa tergelincir jadi sesat seperti di Pengabdi Setan. Ia justru menyampaikan, seperti yang kita temui di kehidupan nyata, ada perempuan yang begitu mendamba melahirkan anak sehat maupun perempuan yang memilih hidup mandiri, tak merasa perlu direpotkan itu semua. Atau pula, ada wanita yang merasa paling tahu apa yang terbaik buat anaknya, mengatur-atur hidup si anak.

Hebatnya Joko, itu semua dibalut dengan gaya penceritaan paripurna. Storytelling yang bikin kejut dan plot twist di sana-sini.

Karena di atas itu semua, pada akhirnya, Perempuan Tanah Jahanam adalah sebuah film yang menggedor jantung dari awal sampai akhir. Kamu bisa menikmatinya tanpa juga perlu memikirkan teori “Ibuisme” yang panjang lebar saya sampaikan di atas.

Dan buat Joko Anwar, saya juga berharap ia sehat terus agar bisa membuat film sebaik atau lebih baik dari Perempuan Tanah Jahanam dan Pintu Terlarang. Tak mengapa ia kerasan di zona nyamannya, sepanjang ia hasilkan tontonan terbaik buat kita. *

Editor: Feby Ferdian

Exit mobile version