Syahdan, adik kandung Butet Kartaredjasa ini dipercaya ayahnya mengiringi pergelaran tari. Dan, dipercaya pula membuat musiknya. Dengan latar belakang keluarga seperti itu, usai sekolah menengah ia melanjutkan ke sekolah tinggi kesenian yang kemudian bernama Institut Seni Indonesia (ISI).
Uniknya, di ISI Djaduk tak mengambil jurusan musik, tetapi seni rupa dan desain. Namun pada akhirnya ia menekuni bidang musik dengan serius, sehingga akhirnya, sebut Franki Raden di sebuah profil singkat, Djaduk dikenal sebagai salah satu tokoh dunia musik kontemporer Indonesia generasi 1980-an.
Langkahnya menapaki musik kontemporer sudah dimulai sejak 1970-an. Pada 1976, ia bereksperimen lewat musik dan ikut mendirikan kelompok Rheze, yang kemudian mendapat juara I Lomba Musik Humor tingkat nasional. Ikut dalam proses pembuatan musik untuk Festival Film Indonesia 1984 dan Pekan Tari Muda VI Dewan Kesenian Jakarta.
Ia banyak belajar soal musik dan film dengan Teguh Karya dan Arifin C. Noer. Ada pun olah pernapasan dalam memainkan alat musik tiup, ia pelajari di Jepang. Kemudian ia belajar musik di New York.
Djaduk banyak mencipta musik, untuk ilustrasi musik film dan sinetron, jingle iklan, untuk teater, atau sejumlah event olahraga. Ia banyak mengikuti pementasan keliling, termasuk Jerman, Denmark, Swedia, Belanda, dan Turki.
Kritik sosial lewat kesenian
Pengamat musik Franki Raden menulis, pengalaman hidup dalam lingkungan kesenian tradisional, terutama Jawa, menjadi bekal musikalnya yang unik. Bekal seni tradisional ini nampak membentuk ekspresi musikalnya selalu menyertakan elemen teatrikal.
Di samping itu, pergaulannya dengan kalangan cendekiawan dan seniman Yogyakarta yang kritis pada masa Orde Baru turut pula mempengaruhi karyanya. Ia kerap menyertakan kritik sosial dan politik pada rezim Orde Baru. Dua di antaranya, yang patut disebut dalam karya awalnya, adalah adalah “Ngeng-Ngeng” (1993) dan “Kompi Susu” (1998).