Raden menyebut “Ngeng-Ngeng” menunjukkan kemampuannya menggunakan bahasa teatrikal secara non-verbal. Sedangkan “Kompi Susu” adalah kritik efektif berbalut humor pada tradisi militerisme Orde Baru.
Sebagai seniman, Djaduk tak pernah berhenti mencari idiom seni yang orisinal. Ia pernah bergabung dengan Kyai Kanjeng pimpinan Emha Ainun Najib dan lalu membentuk kelompok musik ensambel sendiri, Kuaetnika.
Dari Kuaetnika hingga Ngayogjazz
Lewat Kuaetnika pula, pada 1990-an nama Djaduk terangkat ke pentas nasional setelah tampil rutin di acara Dua Warna di RCTI. Sebagai pengiring musik, Djaduk mencipatakan gaya musik fusion yang populer kala itu.
Bersama Kuatenika kemudian Djaduk Ferianto menjadi besar di jagat seni kita. Telah banyak lahir karyanya. Salah satunya konser musik “Sasaji Nagari” yang digelar Februari silam.
Sebagaimana tradisi Kuaetnika, di konser itu pun Djaduk mengawinkan musik tradisional dan kontemporer. Ia membawa pula peralatan dapur dan mainan anak-anak sebagai tambahan tetabuhan. Hasilnya, “Perpaduan musik yang kreatif ditampilkan dalam panggung yang mewah,” sebut laman Beritagar dalam ulasannya.
Beragam tetabuhan itu pula dikatakan Djaduk melambangkan kondisi Indonesia yang terdiri atas beragam etnik dan agama. “Semua punya hak sama, kalau ada mayoritas harus saling berdialog. Perbedaan bukan permusuhan. Jadi kalau beda pendapat, ada satu perdebatan bukan berarti musuh,” kata Djaduk.
“Sasaji Nagari” sendiri diartikan sebagai puji-pujian dan doa yang dipersembahkan untuk negeri. Saat ini kondisinya negeri kita dinilai tengah mengalami kegelisahan dan sedang sedih.
Selain mendirikan Kuaetnika, bersama Butet dan Purwanto tahun 1995. Dia juga pendiri orkes musik keroncong Sinten Remen dan penggagas Ngayogjazz.
Ngayogjazz digagas Djaduk Ferianto bersama teman-temannya sejak 2007. Panggung musik untuk tahun ini akan digelar tanggal 16 November 2019 mendatang di Godean, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Ini festival musik jazz yang unik karena digelar di pedesaan Yogayakarta dan menjadi ikon yang melekat dengan Djaduk. Bukan sekadar memindahkan musik Barat ke desa, sejak awal Ngayogjazz turut pula memberdayakan warga desa tempat festival berlangsung. Penduduk desa turut terlibat dan diikutsertakan dalam pasar tiban bernama Pasar Jazz sebagai usaha pemberdayaan ekonomi warga.
Sayangnya belum lagi acara itu digelar, Djaduk Ferianto sudah mengembuskan nafas terakhir, Rabu dini hari atau 3 hari sebelum acara festival jazz itu digelar.
Benar kata Goenawan Mohamad, selama hidup Djaduk memberi manfaat pada orang lain. Sedangkan Franki Raden menyebutnya sebagai seniman Indonesia yang komplet. Perkembangan pribadi keseniannya, sebut Raden, merupakan sebuah cermin dinamika kehidupan seni di negeri ini. Ia seorang anak zaman yang kedudukannya menjadi sangat khusus.
Selamat jalan Djaduk Ferianto, Pak Kertarajasa kita.*
Editor: Feby Ferdian