Topcareer.id – Syahdan, ketika kecil Geoffrey Canada, seorang pegiat pendidikan di negeri Abang Sam, kecewa betul saat diberitahu ibunya kalau Superman bukan tokoh nyata.
Yang membuatnya begitu kecewa lantaran ia kini tak tahu lagi siapa yang bisa menyelamatkannya dari kubangan kemiskinan dan lingkungan buruk. Semula ia percaya pada Superman. Kini ia tahu Superman fiksi semata.
Mengambil analogi dari cerita masa kecil Canada, sutradara Davis Guggenheim memperlihatkan kegagalan sistem pendidikan di Amerika lewat film dokumenternya, Waiting for “Superman” (2010 ). Film itu punya pesan sistem pendidikan AS butuh Superman untuk menyelamatkan para siswa.
Analogi Superman di film itu cocok pula untuk menggambarkan kondisi sistem pendidikan vokasi kita. Seperti di Amerika yang murid-muridnya butuh diselamatkan Superman, siswa sekolah vokasi di Indonesia pun membutuhkan Superman jadi juru selamat.
Pertanyaannya kemudian, siapa Superman itu? Adakah sosoknya? Atau, sebagaimana karakter Superman, sosok itu tak ada alias fiksi semata?
Sebelum menjawabnya, penting buat kita ketahui bersama apa masalah yang dihadapi sistem pendidikan vokasi negeri ini.
Kita paham, pendidikan vokasi menyiapkan anak didik untuk masuk dunia kerja. Namun, apa jadinya bila kita banyak pengangguran di negeri ini justru berasal dari mereka yang lulus sekolah vokasi?
Baca juga: 8 Benefit Masuk Sekolah Vokasi yang Perlu Kamu Tahu!
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut 11,24% pengangguran didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Ini ironis. Sebab tujuan keberadaan SMK sejatinya adalah menyiapkan tenaga siap kerja. Ketika lulusan SMK, atau juga sekolah politeknik, tak terserap oleh dunia kerja menandakan ada masalah yang harus dipecahkan.
Terutama menyangkut pertanyaan, kenapa lulusan SMK dan politeknik tak ditampung industri? Apa pengajaran di sekolah vokasi kita tak sesuai dengan kebutuhan industri? Bila tak sesuai, apa yang bisa kita lakukan?
Awal Desember kemarin Topcareer.id mendatangi diskusi dan sharing pengalaman seputar pendidikan vokasi yang digelar Swisscontact, sebuah lembaga teknis di bawah donor Pemerintah Swiss lewat SECO (Sekretariat Negara Swiss untuk Urusan Ekonomi) yang fokus pada kemajuan pendidikan vokasi, di Hotel Sultan, Jakarta.
Mari mulai dari masalahnya dahulu.
Kita tahu, Indonesia mencanangkan diri menjadi negara maju pada 2045. Syarat jadi negara maju, industrinya harus maju. “Untuk menjadi negara industri kita perlu banyak skill (atau tenaga kerja berketerampilan) yang dihasilkan sekolah-sekolah vokasi,” kata Eko S.A. Cahyanto, Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Industri di Kementerian Perindustrian RI.
Kenyataannya, di negeri ini lebih banyak sekolah akademik ketimbang sekolah vokasi. Di negeri seluas Indonesia hanya terdapat 300 sekolah vokasi setingkat politeknik. Dari jumlah itupun kualitasnya tak menggembirakan. “Jika lulusan politeknik belum dapat pekerjaan setelah tiga bulan lulus atau bahkan ada yang sampai menganggur selama tiga tahun, berarti ada yang salah,” bilang Patdono Suwignjo, Direktur Jenderal Kelembagaan Iptek dan Dikti di Kemenristekdikti RI.
Patdono mengidentifikasi masalah pendidkan vokasi di Indonesia ada dua aspek. “Pertama terkait jumlah, kedua terkait kualitas,” ujarnya. Lebih jauh ia mengungkapkan, saat ini dari perguruan tinggi yang ada hanya 8,9 persen berjenis politeknik, sedangkan 92 persen adalah akademik. “Membangun poltek mahal,” katanya.
Baca juga: Lulusan Pendidikan Vokasi Banyak Menganggur, Apa yang Salah?
Selain itu pula, masih ada stigma yang kurang baik di masyarakat kita terhadap politeknik. Orangtua lebih yakin menyekolahkan anaknya ke universitas (pendidikan akademik) ketimbang politeknik (pendidikan vokasi). Padahal, secara filosofis, tujuan pendidikan akademik adalah menghasilkan penelitia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan di masing-masing bidang. Sedangkan vokasi menyiapkan tenaga siap kerja.
Namun mendapati kenyataan banyak lulusan vokasi yang menganggur bukti nyata kalau produk pendidikan yang dihasilkan tak sesuai dengan kebutuhan industri.
Pemerintah tak tutup mata melihat kondisi pendidikan vokasi kita. Pemerintah mendorong agar industri terlibat aktif dalam peningkatakn kualitas pendidikan vokasi. “Karena kalau mereka aktif, mereka juga yang diuntungkan karena mendapat tenaga kerja yang sesuai kualifikasi industri,” kata Patdono.
Keterlibatan aktif yang diharapkan itu antara lain mulai dari tenaga pengajar dari kalangan industri, sistem belajar setengah teori di kelas dan setengah lagi praktek di lapangan, hingga insentif pajak bagi pelaku usaha yang aktif terlibat dalam pendidikan vokasi. “Lima puluh persen dosen poltek seharusnya dari kalangan industri,” kata Patdono lagi.
Di atas kertas, solusinya mudah diucapkan. Namun, tak demikian kenyataannya. Keterlibatan industri pada pendidikan vokasi masih minim. Sedangkan terkait insentif pajak, diakui salah satu pelaku usaha yang melibatkan diri dalam pendidikan vokasi belum dirasakan “Perusahaan kami belum mendapat keringanan pajak itu,” kata Didik Tri Hartono, Senior Manager Operational Excellence PT Dua Kelinci. Perusahaan tempatnya bekerja rutin bekerjasama dengan politeknik maupun SMK. “Kami turut merasakan manfaatnya,” kata Didik.
Swiss bisa menjadi contoh yang baik bagaimana sistem pendidikan vokasi berjalan. Di negeri Eropa itu, pada mulanya pendidikan vokasi justru dimulai dari inisiatif masyarakat, bukan negara. “Awalnya di sana ada sistem patronase, di mana ada pelatihan bagi karyawan baru,” ujar Reudi Nuetzi, Countrydirector Swisscontact Indonesia. Baru kemudian Pemerintah masuk memformalkannya.
Menurut Reudi pula masalah utamanya bukan terletak pada jumlah vokasi. Melainkan memperbaiki kualitas vokasi di Indonesia saat ini. “Jumlah vokasi di Swiss tak sampai 300,” katanya.
Bisa jadi iya. Luas Swiss teramat kecil bila dibandingkan Indonesia yang terdiri dari 17 ribu pulau dan dipisahkan lautan. Di Swiss mudah saja menggunakan waktu belajar dua hari di kelas dan tiga hari di industri. Namun, hal itu susah diterapkan di sini karena masalah geografis terkait jarak sekolah dan pabrik. Di sini, inisiatif pendidikan vokasi kebanyakan datang dari Pemerintah, bukan swasta.
Pendek kata, situasi di Swiss berbeda dengan Indonesia.
Lantas, apa yang ditawarkan Pemerintah Swiss untuk membantu memperbaiki sistem pendidikan vokasi kita?
Bukan setahun-dua tahun Pemerintah Swiss terlibat dalam pendidikan vokasi. Sejak 45 tahun lalu mereka bekerjasama dengan Pemerintah Indionesia membangun sekolah pariwisata di Bandung, Jawa Barat. Hingga saat ini sekolah itu, Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Bandung, masih berdiri dan menjadi contoh model pendidikan vokasi.
Contoh anyar kerjasama Swiss dan Indionesia adalah Politeknik Pariwisata Lombok (PPL) di Nusa Tenggara Barat. “Kami membantu merevisi kurikulum, manajemen sekolah, serta melatih guru-guru di sana,” bilang Mike Loose, Project Manager STED (Sustainabe Tourism Education Development) yang membantu mengelola PPL atas nama Pemerintah Swiss.
Revisi kurikulum yang dimaksud adalah DACUM (Develop a Curiculum). Sejak 2018, Pemerintah Swiss melaksanakan serangkaian lokakarya DACUM di sekolah-sekolah politeknik yang jadi mitranya. Lokakarya itu melibatkan juga perusahaan swasta yang memberikan masukan tentang pengetahuan, keterampilan, dan peralatan terkait pekerjaan yang dibutuhkan saat ini.
“Bantuan dari Pemerintah Swiss membantu kami untuk berkembang lebih baik,” ujar Alfani Risman Nugroho, M.T, dosen sekaligus Pembantu Rektor I Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu, Kendal, Jawa Tengah.
Hasil lokakarya DACUM juga berguna bagi swasta. “Mereka kemudian justru menjadikannya SOP (standar operational procedure) di perusahaan masing-masing, jadi bahan training internal mereka,” kata Ika Wulandari, Senior Project Officer Curriculum and Teacher Development STED.
Ada banyak “Superman” yang siap membantu memperbaiki sistem pendidikan vokasi kita. Ia mewujud dalam sosok-sosok yang kami saksikan berdiskusi dan sharing pengalaman dalam acara tempo hari di Hotel Sultan.
Di sana ada pejabat pemerintah, dosen-dosen politeknik, pelaku usaha yang giat menampung siswa sekolah vokasi hingga pegiat dari lembaga donor Pemerintah Swiss.
Melihat itu, kita boleh senang harapan perbaikan itu masih ada. “Masa depan (vokasi kita) akan lebih baik,” tutup Patdono dari Kemenristekdikti RI. ***