TopCareerID

Ingat, Masalah Sampah Bukan Hanya Plastik

Sumber foto: Washingtonexaminer.com

Sumber foto: Washingtonexaminer.com

Topcareer.id – Menyoal masalah lingkungan hidup, khususnya sampah, kini telah jadi topik hangat di tiap negara. Atas hal itu juga, kebijakan terkait dihadirkan demi menyesuaikan keadaan.

Tak terkecuali pemerintah Ibu Kota Jakarta, yang baru-baru ini menerbitkan peraturan larangan kantong plastik. Tapi, masalah sampah, bukan semata-mata plastik saja.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeluarkan peraturan gubernur (pergub) tentang larangan kantong plastik sekali pakai. Mal, pasar, sampai minimarket harus menggunakan kantong belanja ramah lingkungan.

Peraturan tersebut tertuang dalam Pergub Nomor 142 tahun 2019 tentang Kewajiban Penggunaan Kantong Belanja Ramah Lingkungan pada Pusat Perbelanjaan, Toko Swalayan, dan Pasar Rakyat.

“Kewajiban pengelola dalam Pergub tersebut disebutkan bahwa pengelola wajib memberlakukan penggunaan kantong belanja ramah lingkungan di lokasinya,” kata Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Andono Warih kepada media, Selasa (7/1/2020).

Baca juga: Sedotan Rumput dari Vietnam, Alternatif Ramah Lingkungan Diet Plastik

Data soal sampah

Plastik memang salah satu faktor penyumbang sampah yang belakangan dinilai cukup mengkhawatirkan. Apalagi menurut data The World Bank tahun 2018, 87 kota di pesisir Indonesia memberikan kontribusi sampah ke laut dengan perkiraan sekitar 1, 27 juta ton. Dan 9 juta ton di antaranya merupakan komposisi sampah plastik, dan 3,2 juta ton sampah sedotan plastik.

Untuk Jakarta sendiri, pada 2018 konsumsi sampah mencapai 7.500 ton dan saat pertengahan 2019, telah menembus angka 7.800. Indonesia menghasilkan sampah sekitar 66-67 juta ton sampah pada tahun 2019. Namun, presentase penyumbang sampah terbesar bukan plastik, melainkan organik.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), komposisi sampah Indonesia didominasi oleh sampah organik, yakni mencapai 60% dari total sampah. Sampah plastik menempati posisi kedua dengan 14%, disusul sampah kertas 9%, dan karet 5,5%.

“Orang berpikir sampah yang paling kelihatan itu sampah plastik, di sungai dan tempat pembuangan sampah. Sebetulnya plastik bukan yang paling besar. Pencemar yang paling besar, masih banyak lagi. Sampah organik sendiri, sisa makanan ini berapa banyak,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Packaging Federation (IPF), Henky Wibawa kepada Topcareer.id.

Baca juga: Cara Dapatkan Uang dari Barang yang Tak Terpakai

Ia mengatakan, jika masalahnya hanya “sampah organik mudah terurai dan jadi kompos,” lantas plastik jadi biang keroknya, maka sebenarnya tak semudah itu. Coba tengok muara sampah Bantargebang, Bekasi, mayoritas sampah organik itu tetap tak mudah terurai. Malah menggunung.

Karena, kata dia, untuk menjadikan sampah-sampah itu kompos dan mudah terurai harus dikondisikan. Ada beberapa hal yang dibutuhkan agar sampah organik itu bisa terurai dan menjadi kompos sempurna.

“Kompos itu kan karena bakteri, mikrobanya harus hidup. Kalau di Bantargebang mikrobanya mati. Sampah hanya menumpuk. (Untuk jadi kompos) harus dikondisikan, temperaturnya tertentu, ada kadar airnya,” ujar Henky.

Menurutnya, mengurai masalah soal sampah ini harus tersistem dengan baik. Mulai dari industri, pemerintah, hingga bagian terkecil seperti keluarga. Edukasi soal pemilihan sampah, pun sistem pembuangan sampah terpilah perlu diberlakukan di setiap daerah.

Exit mobile version