TopCareerID

1917 dan Kenapa Orang Jarang Ingat Film Perang Dunia I

Adegan film 1917. (dok. CBI Pictures)

Topcareer.id – Apa film berlatar Perang Dunia I (PD I) yang pernah kamu tonton dan kamu ingat betul cerita maupun adegan-adegannya? Jangan-jangan jawabannya kamu tidak ingat satupun film yang berkisah tentang PD I. Well, setelah nonton 1917 karya teranyar Sam Mendes, kamu bisa masukkan film ini sebagai jawaban.

Wajar bila ingatan orang akan PD I yang berlangsung 1914-1918 kian memudar seiring waktu. Dibanding Perang Dunia II, Perang Vietnam, Perang Dingin atau perang melawan terorisme yang masih berlangsung hingga hari ini, PD I jarang diangkat dalam produk budaya pop semacam film yang menargetkan penonton massal.

Padahal dampak PD I tak kurang dahsyat dibanding perang-perang lain. Di Barat sana PD I punya nama lain “great war” atau perang besar yang menandakan dampak dan skala perangnya amat masif. Medan perang ini dicatat berlangsung di 28 negara di enam benua, melibatkan 65 juta tentara di seluruh dunia, 10 juta tentara tewas dan 21 juta lainnya cedera. Korban di kalangan sipil lebih banyak lagi: 13 juta jiwa.

Jumlah korban Perang Dunia I hanya terlampaui oleh dampak Perang Dunia II yang terjadi 20 tahun setelahnya.

Baca juga: REVIEW FILM Dolittle, Tontonan Ringan yang Aman untuk Keluarga

Muasal PD I

PD I sepatutnya tak lekang dalam ingatan kita karena inilah perang pertama di era modern yang melibatkan berbagai bangsa di dunia. Sebelumnya, perang hanya berlangsung antara dua negara yang bermusuhan. Tapi, PD I menyeret berbagai negara, utamanya di Eropa, berhadapan di medan tempur. Pemicunya pembunuhan putra mahkota kerajaan Austria-Hongaria Franz Ferdinand dan istrinya, Sophie oleh mahasiswa Serbia di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina.

Austria menggunakan dalih pembunuhan itu untuk mengusai Serbia. Ketika Austria menyatakan perang, militer Rusia menyatakan perang pula untuk membela Serbia. Karena Rusia ikut perang, Prancis yang sekutu Rusia ikut pula membela sekutunya kala itu. Kemudian Jerman yang merupakan saingan Prancis dan Rusia tak punya pilihan lain kecuali menyatakan perang juga.

Demi mengusai Prancis, Jerman butuh lewat Belgia yang sudah menyatakan netral. Inggris yang sekutu Belgia tak senang, kemudian menyatakan perang pada Jerman dan membela Prancis dan Belgia. Dari situ negara-negara di Eropa, Asia, Afrika ikut terseret perang. Amerika juga kemudian turut berperang pada 1917 berada di kubu Inggris dan Prancis melawan Jerman.

Baca juga: Bad Boys For Life: Akhirnya Will Smith Keren Lagi!

PD I juga perang pertama dengan persenjataan modern yang mampu membunuh lawan lebih efektif. Perang tidak hanya berlangsung di daratan maupun lautan, tapi juga di udara untuk pertama kalinya. Hanya sebelas tahun sebelum PD I, manusia menciptakan pesawat terbang. Mesin itu kemudian dikembangkan jadi alat perang untuk menghilangkan nyawa sesama manusia. Di PD I juga, kapal perang dari besi, bukan lagi kayu, dan mobil tank digunakan sebagai senjata pemusnah massal.

PD I dalam film

Yang jadi tanya lalu, dengan segala kedahsyatan dampak di atas kenapa budaya pop kita relatif jarang mengangkatnya agar tak pudar dalam ingatan kolektif?

Sebetulnya, film berlatar PD I kerap dibuat sineas dunia, bahkan sejak zaman film klasik. Terutama tak lama setelah perang besar itu sendiri berakhir. Salah satu film PD I pertama dibuat setahun setelah perang berakhir oleh sineas Prancis Abel Gance berjudul J’accuse! (1919). Film ini menggunakan cuplikan dokumentasi nyata dari medan pertempuran di Prancis untuk menggambarkan kengerian perang parit.

Kurang dari sepuluh tahun usai PD I, Wings (1927) dirilis dan memenangkan Oscar film terbaik di ajang yang digelar untuk pertama kalinya itu. Wings berkisah tentang keberanian pilot-pilot pesawat tempur di perang itu.

Ada pula film yang merekam PD I dari sisi Jerman. All Quiet on the Western Front rilis 1930 menggambarkan ketakutan dan kekecewaan serdadu Jerman tentang kesia-siaan perang.

Adegan film Paths of Glory (1957). (dok. Empire Online)

Yang patut dicatat pula, dua sineas legendaris Stanley Kubrick dan David Lean turut mengangkat film bertema PD I dan hingga kini dianggap klasik. Kubrick membesut Paths of Glory (1957) yang melukiskan kengerian di parit dan maut yang siap mengintai di tanah tak bertuan yang jadi rebutan. Sedangkan Lean membuat Lawrence of Arabia (1962), sebuah karya epik tentang letnan Inggris T.E. Lawrence memimpin orang-orang Arab berjuang melawan tentara Turki di masa PD I.

Setelahnya berkali-kali film tentang PD I diangkat sejumlah sineas. Ada Flyboys (2006) yang dibintangi James Franco; War Horse (2011) yang diangkat Steven Spielberg dan masuk nominasi Oscar film terbaik; dan yang paling anyar dokumenter karya Peter Jackson They Shall Not Grow Old (2019). Judul lain yang layak disebut ada Gallipoli (1981), Regeneration (1997), The Trench (1999), serta A Very Long Engagement (2004).

Jika faktanya film perang bertema PD I terus dibuat dari era 1920-an hingga sekarang, kenapa film-film tersebut tak dikenang sebagaimana kita mengenang film-film perang lain seperti The Bridge of River Kwai (1957), The Deer Hunter (1978), Apocalypse Now (1979), Platoon (1986), Full Metal Jacket (1987), Saving Private Ryan (1998), The Thin Red Line (1998), Enemy at the Gates (2001), Dunkirk (2017) atau miniseri epik Band of Brothers (2001) dan The Pacific (2010)? Apa secara sinematik film-film perang PD I tak sekuat film perang PD II atau Perang Vietnam?

Baca juga: 10 Film Wajib Tonton 2019 (Bagian 1) dan 10 Film Wajib Tonton 2019 (Bagian 2)

Bisa jadi iya. Perang di parit yang jadi palagan utama PD I tak sekaya medan perang di PD II atau Vietnam yang bervariasi, entah di hutan atau perang kota. Film berlatar PD I misalnya, tak bisa menggambarkan realitas macam adegan pembuka Saving Private Ryan yang menyuguhkan invasi Normandia di Pantai Omaha secara kasar dan realistis.

Percobaan sinematik 1917

Pada titik ini kita patut menengok 1917, sebuah upaya untuk mengangkat film bertema PD I yang lekang dalam ingatan banyak orang. Lewat film ini, Sam Mendes, sang sutradara, seolah ingin mengatakan PD I sama genting dan horornya dengan perang-perang lain. Caranya lewat narasi yang mengandalkan tipuan kamera.

Baiknya saya ceritakan sedikit garis besar ceritanya dahulu.

Alkisah, dua serdadu Inggris, Kopral Schofield (George McKay) dan Kopral Blake (Dean-Charles Chapman) mendapat tugas maha penting mengirim surat dari sang jenderal agar pasukan Inggris lain yang terpisah jarak dengan mereka mengurungkan niat menyerbu pasukan Jerman saat fajar esok. Sebab, menyerang pasukan Jerman berarti masuk perangkap dan nyawa 1.600 serdadu Inggris akan mati sia-sia.

Adegan film 1917.

Kamera lalu mengikuti serdadu pembawa surat melintasi daerah tak bertuan dan parit yang ditinggalkan Jerman. Di tengah jalan salah satu dari dua serdadu itu tewas terbunuh. Misi tetap harus dilanjutkan. Meskipun itu berarti ia harus melompati jembatan roboh, reruntuhan bekas bangunan, kepergok Jerman, masuk sungai, dan berlari di tengah hujan bom.

Ceritanya sesederhana itu. Sedikit mengingatkan kita pada tema cerita Saving Private Ryan yakni sekelompok pasukan melintasi wilayah musuh demi bertemu Pratu Ryan untuk dibawa pulang. Namun bedanya, karena 1917 hanya mengambil waktu seharian, Mendes memanfaatkannya untuk menyuguhkan filmnya dengan cara tak biasa.

Di 1917 kita menjadi mata kamera yang mengikuti kemana saja aktor utamanya bergerak. Penonton seolah berada di belakang, depan atau kadang di samping dengan jarak begitu dekat. Ilusi yang Mendes ciptakan, film ini seolah diambil sekali syut tanpa putus demi mendapat kesan kenyataan perang yang begitu dekat dengan kita, penontonnya.

Adegan film 1917.

Kerja keras Mendes dan sinematografer Roger Deakins ini patut dipuji. Menonton behind the scene film ini yang bertebaran di dunia maya kelihatan 1917 dibuat dengan kecermatan teknis mumpuni. Untuk menciptakan adegan yang kebanyakan memang diambil sekali take, para aktor dan kru menghabiskan banyak waktu untuk melatih adegan. Wajar bila Mendes mendapat pengakuan nominasi sutradara terbaik berbagai ajang penghargaan film tahun ini, termasuk Oscar.

Namun, yang jadi tanya utama, apa 1917 akan dikenang sebagai film perang yang terus diingat orang?

Film ini punya satu-dua momen dramatis yang mengundang emosi. Namun yang jadi menu utama tetaplah adegan menegangkan tanpa putus yang berlangsung nyaris sepanjang film. Ketika mengikuti orang berlarian atau berjalan dengan kamera yang terus bergerak mengikuti diri ini yang disasar adalah elemen ketegangan, bukan emosi atau rasa haru.

Teknik model begini juga membuat karakter tokoh-tokohnya kurang tereksplorasi untuk memikat simpati penonton.

Itu sebabnya, 1917 rasanya akan kita kenang terus karena pencapaian tekniknya. Bukan lantaran tema ceritanya mampu mengaduk atau menggedor emosi kita.*

Editor: Feby Ferdian

Exit mobile version