TopCareerID

Menyimak Perkembangan Film Nasional dari Tahun Ke Tahun

Sumber foto: Dictio.id

Topcareer.id – Tahukah Kamu? Dunia perfilman di Indonesia sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, tepatnya sekitar awal tahun 1920-an.

Lalu, bagaimana perkembangan film nasional sejak zaman dahulu hingga sekarang di Indonesia. Berikut ini ringkasannya.

Periode 1900-1942
Era awal perfilman Indonesia diawali dengan berdirinya bioskop pertama pada 5 Desember 1900 silam di daerah Tanah Abang, Batavia dengan nama ‘Gambar Idoep.’

Film Indonesia yang dibuat pertama kali adalah film bisu tahun 1926 berjudul Loetoeng Kasaroeng, karya sutradara Belanda, G. Kruger dan L. Heuveldorp. Film ini dibuat oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung, dengan memakai sejumlah pemain lokal. Loetoeng Kasaroeng tayang perdana pada 31 Desember 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.

Berikutnya, ada Wong bersaudara yang hijrah dari industri film Shanghai ke Indonesia. Awalnya, hanya Nelson Wong saja yang datang untuk menyutradarai Lily van Java (1928) produksi Perusahaan South Sea Film Co.

Kemudian, kedua adiknya yaitu Joshua dan Otniel Wong menyusul dan mendirikan perusahaan Halimoen Film.

Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan pertamanya adalah film Boenga Roos dari Tjikembang (1931), tetapi hasilnya buruk. Film bicara lain yang dibuat Halimoen Film adalah Indonesia Malaise (1931).

Pada 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak pernah terjun ke dunia film, mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh. Ia mendatangkan tokoh film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film tersebut.

Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter, kebanyakan adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda. Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal, karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut.

Untuknya, Balink tidak menyerah, Ia bahkan membuat perusahaan film ANIF (Gedung perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara).

Dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama Saeroen. Balink sukses menyuguhkan film Terang Boelan (1934) yang berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan dari kalangan penonton kelas bawah.

Periode 1942 – 1949
Pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda politik Jepang. Pemutaran film di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film-film propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, sehingga bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya produksi film nasional.

Pada 1942, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang di Indonesia hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan 1001 Malam.

Akibat pembatasan yang dilakukan oleh Jepang, ruang gerak para artis dan karyawan film pun dipersempit. Merka kemudian hijrah ke panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman itu antara lain Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau Jawa.

Selain itu, kumpulan sandiwara amatir Maya juga didirikan, di mana didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar di bawah pimpinan Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.

Periode 1950 – 1962
Pada tahun 1951 diresmikan Bioskop Megaria (Sekarang bernama Metropole), bioskop termegah dan terbesar pada saat itu. Pada tahun 1955, terbentuklah Persatuan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh Indonesia (GABSI). Pada masa itu, selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat juga dua perusahaan perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh Djamaluddin Malik).

Periode 1962 – 1965
Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting, terutama menyangkut aspek politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai agen imperialisme Amerika Serikat, pemboikotan, pencopotan reklame, hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu, jumlah bioskop mengalami penurunan akibat gejolak politik. Pada 1964 hingga 1965, dari 700 bioskop, hanya tersisa 350 bioskop.

Periode 1965 – 1970
Gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa G30S PKI membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi.

Kebijakan pemerintah untuk mengadakan sanering pada tahun 1966 juga menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada akhir era ini, perfilman Indonesia terbantu dengan banyaknya film impor sehingga memulihkan bisnis perbioskopan dan meningkatkan jumlah penonton.

Periode 1970 – 1991
Pada era ini perfilman bioskop mengalami kemajuan, meski harus mengalami persaingan dengan televisi (TVRI). Pada tahun 1978, didirikanlah Cineplex Djakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987.

Akibatnya, terjadi monopoli dan krisis bagi bioskop-bioskop kecil lantaran jumlah penonton terserap oleh bioskop besar. Pada masa ini, juga muncul fenomena pembajakan video tape.

Periode 1991 – 1998
Di Periode ini, perfilman Indonesia bisa dikatakan mengalami mati suri dan hanya mampu memproduksi 2-3 film tiap tahun. Selain itu film-film Indonesia didominasi oleh film-film bertema seks yang meresahkan masyarakat. Kematian industri film ini juga ditunjang pesatnya perkembangan televisi swasta, serta munculnya teknologi VCD, LD dan DVD yang menjadi pesaing baru.

Pada era ini, lahir UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang mengatur peniadaan kewajiban izin produksi yang turut menyumbang surutnya produksi film. Bahkan, sejak Departemen Penerangan dibubarkan, nyaris tak ada lagi otoritas yang mengurusi dan bertanggungjawab terhadap proses produksi film nasional.

Buku mengenai perfilman Indonesia “Layar Perak: 90 Tahun Bioskop di Indonesia” terbit pada tahun 1992 dan mengupas tahapan perfilman Indonesia hanya sampai periode 1991.

Periode 1998 – sekarang
Era ini dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan, serta jumlah produksi yang menggembirakan.

Film pertama yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu, muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran.

Hingga saat ini, jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema horor dan remaja.

Editor: Feby Ferdian

Exit mobile version