Topcareer.id – Studi menemukan bahwa tetesan kecil masih dapat dengan mudah bergerak di sekitar sisi pelindung face shield.
Visualisasi terbaru dari penelitian menunjukkan mengapa pelindung wajah dan masker dengan katup pernafasan mungkin bukan penghalang terbaik untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Meskipun pelindung wajah awalnya menghalangi tetesan dari batuk yang disimulasikan, tetesan kecil dapat dengan mudah bergerak di sekitar sisi pelindung dan akhirnya menyebar ke area yang luas, menurut visualisasi yang dirinci dalam sebuah penelitian, Selasa, 1 September 2020 di jurnal Physics of Fluids.
Baca Juga: Face Shield Tak Optimal Tangkal Covid-19 Bila Dipakai Tanpa Masker
Untuk masker dengan katup pernafasan, aliran tetesan bisa lewat tanpa filter melalui katup, yang berarti masker tersebut secara teori hanya sedikit menghalangi penyebaran tetesan yang berpotensi menular.
Simulasi dalam studi baru menunjukkan bahwa face shield dan masker dengan katup pernapasan mungkin tidak seefektif masker biasa dalam membatasi penyebaran tetesan aerosol.
Masker telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari selama pandemi COVID-19. Tetapi beberapa orang beralih ke face shield karena mereka merasa alternatif ini lebih nyaman dipakai untuk jangka waktu yang lama. Face shield juga memiliki keunggulan memungkinkan pengguna untuk menampilkan ekspresi wajahnya.
Namun, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) tidak merekomendasikan face shield sebagai alternatif untuk masker kain.
Masker dengan katup satu arah juga tidak direkomendasikan oleh CDC, karena masker ini sebetulnya dibuat untuk digunakan dalam pekerjaan konstruksi, cara kerjanya memungkinkan pengguna untuk menghirup udara yang difilter dan menghembuskan udara hangat, lembab tanpa filter keluar melalui katup. Jadi masker jenis ini tidak efektif untuk mencegah penyebaran COVID-19.
Dalam studi baru, para peneliti mensimulasikan batuk dengan menghubungkan kepala manekin ke mesin kabut yang menghasilkan uap dari air dan gliserin serta menggunakan pompa untuk mengeluarkan uap melalui mulut boneka itu.
Mereka kemudian memvisualisasikan tetesan uap menggunakan “lembaran laser” yang dibuat dengan melewatkan penunjuk laser hijau melalui batang silinder. Dalam pengaturan ini, simulasi tetesan batuk muncul sebagai uap hijau bersinar yang mengalir dari mulut manekin.
Untuk simulasi face shield, awalnya membelokkan tetesan ke bawah setelah batuk. Tetapi tetesan kecil tetap tergantung di bagian bawah face shield dan kemudian melayang di sekitar samping, akhirnya menyebar sekitar 1 meter ke depan dan samping face shield. Dalam beberapa kasus, tetesan justru menyebar ke belakang.
Untuk masker dengan katup, semburan tetesan melewati katup di bagian depan masker selama batuk. Awalnya, semburan tetesan ini bergerak menuju tanah, tetapi akhirnya tetesan tersebut menyebar ke area yang luas.
Para peneliti juga menguji dua merek berbeda dari masker bedah yang tersedia secara komersial. Kedua masker ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan medis oleh produsen. Meskipun masker terlihat serupa, satu merek efektif menghentikan penyebaran tetesan aerosol, sementara yang lain memungkinkan sejumlah besar tetesan bocor melalui pori-pori masker.
“Ini menunjukkan bahwa bahkan di antara masker yang tersedia secara komersial mungkin tampak serupa namun terdapat perbedaan mendasar yang signifikan dalam kualitas dan jenis bahan yang digunakan untuk membuat masker,” kata penulis penelitian.
Mereka juga mencatat bahwa bahkan masker terbaik pun memiliki tingkat kebocoran tertentu. Jadi masih penting untuk menjaga jarak fisik walaupun sudah mengenakan untuk mengurangi penularan.**(RW)