Topcareer.id – Siapa yang tak ingin bekerja di industri pelayaran? Iming-iming gaji yang tinggi sekaligus bisa plesiran gratis menjadi daya tarik tersendiri untuk profesi yang satu ini.
Oleh sebab itu, bukan hanya kaum adam saja yang melirik untuk bekerja di industri pelayaran, kaum hawa pun tak mau ketinggalan dengan membuktikan kemampuannya untuk menaklukkan lautan.
Sayangnya perjalanan karier pelaut wanita tak seindah yang dibayangkan. Deskriminasi gender kerap dialami pelaut wanita karena Industri pelayaran di Indonesia masih banyak yang menutup pintu bagi pelaut wanita. Deskriminasi inilah yang mengusik hati Capt Suarniati M.A, M.Mar, nahkoda wanita pertama asal Aceh.
“Di sekolah kami mendapat pendidikan yang sama dengan calon pelaut laki-laki baik dari pengetahuan hingga latihan fisik.” kata Capt Suar kepada Topcareer.id, Kamis (22/4/2021).
Baca Juga: Kapten Suarniati, Nahkoda Wanita yang Lawan Diskriminasi untuk Pimpin Kapal
Sayangnya hal itu hanya berlaku saat dibangku pendidikan saja. Selepas lulus pendidikan Capt Suar merasakan sulitnya mendapat pekerjaan karena dirinya perempuan.
“Honestly, di dalam kemampuan kesetaraan itu jelas. Tapi dalam hal kesempatan untuk berkarya secara profesional, kesetaraan atau emansipasi di dunia pelayaran itu jelas belum terlihat fair,” tegasnya.
Terlihat dari banyaknya perusahaan pelayaran yang menolak mempekerjakan pelaut wanita, walau nilai dan persyaratan lain telah dipenuhi.
“Terus terang perjuangan saya untuk menjadi kadet atau mendapat tempat untuk praktek laut itu berat banget. Perusahaan pelayaran di Indonesia menutup rapat-rapat, jangankan untuk wawancara, untuk kita masukkan CV aja enggak ada kesempatan. Pada saat kita datang keperusahaan itu langsung di- stop di security dan bilang mereka enggak terima pelamar perempuan,”tutur wanita yang saat ini menjabat sebagai Crewing Manajer di Samudera Daya Maritim.
Diskriminasi gender juga ia alami saat dirinya mengikuti mengikuti rekruitmen di salah satu perusahaan BUMN. Saat itu ia membuktikan kemampuannya, dimana dari 12 orang kandidat, Capt Suar dan satu orang pelaut laki-laki asal Semarang berhasil lolos. Sayang, harapannya untuk bisa berlayar pupus hanya karena alasan gender.
“Yang lulus ada 2 orang, saya dan satu orang laki-laki. Tapi pas kapal datang, yang diangkat itu laki-laki. Padahal saya juga lulus. Trus saya tanya, kenapa keputusannya seperti ini, dan mereka menjawab perusahaan menerima tapi kapten kamu menolak,” tutur Capt Suar.
Pengalaman pahit ini tak lantas membuat dirinya kecil hati, Kapten Suar justru terus membuktikan kemampuannya hingga akhirnya ia berlabuh di sebuah perusahaan pelayaran Samudera Indonesia sebagai nahkoda wanita pertama.
Kariernya sebagai nakhoda di kapal ia jalani selama 15 tahun (1999 – 2014). Setelah itu ia menjadi instruktur dan aktivis pelaut lalu kini berakhir sebagai crewing manager Samudera Daya Maritim.
“Bagi saya Samudera Indonesia ini perusahaan pelayaran paling hebat. Kenapa? karena perusahaan ini mencintai pelaut wanita. Samudera Indonesia adalah perusahaan pelayaran yang terus membuka peluang bagi pelaut-pelaut wanita yang handal dan tangguh.”ujar Capt Suar.
Perjuangan Kapten Suar untuk memperjuangkan nasib pelaut wanita tak berhenti. Ia bersama rekannya mendirikan IFMA (Indonesia Female Mariner). Bersama IFMA Kapten Suar mendatangi petinggi Kementerian Perhubungan hingga melakukan door to door ke perusahaan dan meyakinkan mereka bahwa pelaut wanita memiliki keterampilan dan kekuatan yang sama dengan pelaut laki-laki.
Seperti kata pepatah, usaha tak mengkhianati hasil. Kapten Suarniati berhasil membuat pemerintah mengeluarkan regulasi agar setiap perusahan pelayaran harus menyediakan setidaknya 10% kursi untuk para pelaut wanita. **(RW)