TopCareerID

Rohana Kudus, Wartawan Perempuan yang Jadi Pahlawan

Rohana Kudus, wartawan perempuan pertama Indonesia yang jadi Pahlawan Nasional (Wikipedia)

TopCareer.id – Roehana Koeddoes, atau sering ditulis Ruhana Kuddus atau Rohana Kudus, adalah seorang wartawan perempuan pertama Indonesia yang jadi Pahlawan Nasional.

Rohana Kudus ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Jumat, 8 November 2019 lalu.

Mengutip situs kuraitajitimur.padangpariamankab.go.id, Pemerintah Sumatera Barat sudah mengusulkan Rohana Kudus untuk menjadi pahlawan nasional sejak 2018.

Baca Juga: Di Era 70-an, Profesi Ini Punya Jasa Besar dalam Karier Wartawan

Rohana, atau bernama Sitti Rohana, lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, pada 20 Desember 1884. Ayahnya adalah Moehammad Rasjad Maharadja Sutan, seorang Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan ibunya bernama Kiam.

Rohana tumbuh dalam keluarga moderat yang gemar membaca. Sejak kecil, ia sudah bisa mendapatkan berbagai bacaan lewat buku, majalah, dan surat kabar yang dibeli ayahnya. Kegemaran membaca sang ayah juga ditularkan padanya.

Rohana Kudus tidak mengenyam sekolah formal. Namun, didikan sang ayah membuat sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu di usia lima tahun. Saat berusia enam tahun, ayahnya pindah tugas ke Alahan Panjang sebagai juru tulis. Di sana ia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan Sutan.

Karena tak punya anak, pasangan Sutan dan Adiesa menganggap Rohana sebagai anak sendiri. Adiesa sering memanggil Rohana untuk main di rumahnya. Di sana, dia juga diajari baca, tulis, dan berhitung.

Dua tahun diajari Adiesa, Rohana pun sudah bisa menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Dia bahkan sudah bisa berbahasa Belanda saat delapan tahun.

Saat dewasa, Rohana adalah sosok yang peduli dengan nasib sesama perempuan. Ia pun mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah untuk kaum putri yang mengajarkan keterampilan.

Lewat diskusi dengan suaminya Abdul Kudus, ia mengungkapkan keinginannya untuk memperluas perjuangan. Dia ingin lebih banyak berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain.

Rohana kemudian mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe, di Padang, yang merupakan wartawan senior.

Dia menyampaikan keinginannya agar perempuan diberi kesempatan mendapat pendidikan sama seperti lelaki, serta mengusulkan agar Oetoesan Melajoe memberi ruang pada tulisan perempuan.

Maharadja yang tersentuh dengan surat itu pun pergi ke Koto Gadang, untuk menemuinya. Dalam pertemuan itu, Rohana menyampaikan idenya tidak sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan di Oetoesan Melajoe, tapi juga menerbitkan surat kabar yang khusus perempuan.

Namun, Rohana tidak bisa mengurusnya seorang diri karena tidak bisa meninggalkan Sekolah Kerajinan Amai Setia.

Ratna Juwita Zubaidah, anak Maharadja, kemudian diusulkan untuk mengurus keperluan di Padang. Saran pembagian tugas ini disetujui karena dianggap cukup adil.

Rohana dan Ratna Juwita akan sama-sama menulis. Sementara Ratna Juwita mengurus keperluan redaksi di Padang, Rohana mencarikan kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik dalam surat kabar mereka.

Dari situ terbitlah Soenting Melajoe, yang diperuntukkan bagi kaum perempuan di seluruh tanah Melayu. Surat kabar ini pertama kali terbit pada 10 Juli 1922.

Soenting Melajoe terbit seminggu sekali dengan panjang empat halaman. Distribusinya pun juga sudah menjangkau Malaka dan Singapura, karena disirkulasikan bersama Oetoesan Melajoe.

Kontennya pun beragam. Selain berita terjemahan Bahasa Belanda yang dikerjakan Rohana, koran ini juga menyajikan sejarah, tulisan dari para kontributor, hingga puisi. Dengan wadah ini, Rohana mengajak kawan-kawan dan muridnya untuk menulis.

Salah satu yang pernah dibahas Rohana adalah keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik, atau hiasan untuk pakaian. Tulisan ini dimuat dalam artikel berjudul “Perhiasan Pakaian“, yang terbit Sabtu, 7 Agustus 1912.

Di situ, ia menyoroti beberapa jenis keahlian tidak diturunkan sempurna dari nenek ke anak cucu mereka. Padahal menurutnya, jika keahlian itu diturukan dengan baik dan ditekuni, hasilnya bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi perempuan. Rohana pun mengajak para perempuan untuk berbisnis dengan modal keterampilan menghias baju.

Tak cuma terlibat dalam penerbitan Soenting Melajoe, saat Rohana pindah ke Medan tahun 1920, ia bekerja sama dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak.

Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di surat kabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang.

Rohana Kudus meninggal di Jakarta tanggal 17 Agustus 1972. Ia dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Pada 8 November 2021, Google Indonesia sempat memberikan penghargaan untuknya, dengan menampilkan wajahnya sebagai Google Doodle, sebagai peringatan penetapannya sebagai Pahlawan Nasional.

Exit mobile version