TopCareer.id – 10 Oktober 2024 dirayakan sebagai World Mental Health Day 2024 atau Hari Kesehatan Mental Sedunia. Adapun, kesehatan mental di tempat kerja jadi sorotan tahun ini, dengan tema yang diusung Badan Kesehatan Dunia (WHO) adalah “Mental Health at Work.”
Direktur Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Imran Pambudi, data WHO di 2022 mencatat, 1 dari 8 orang di seluruh dunia memiliki masalah kesehatan jiwa, dan 15 persen di antaranya merupakan usia kerja.
Selain itu, WHO di 2019 mencatat, 1 miliar orang yang hidup dengan gangguan jiwa, dengan 15 persen di antaranya berada di usia kerja.
Gangguan depresi dan kecemasan juga membuat ekonomi global kehilangan USD 1 triliun setiap tahun akibat hilangnya produktivitas, menurut WHO di 2019.
Baca Juga: Menkes: Ubah Narasi Soal Bunuh Diri Demi Selamatkan Banyak Nyawa
Dalam pemaparannya di temu media beberapa waktu lalu, Imran juga mengungkapkan secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di 2018, 6,3 persen pegawai swasta dan 3,9 persen PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD, mengalami gangguan mental emosional.
Data yang sama juga mencatat, 4,3 persen pegawasi swasta dan 2,4 persen PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD itu mengalami depresi.
“Data dari PKT3K UI, itu juga menemukan bahwa 80 persen sumber pajanan di tempat kerja adalah tuntutan pekerjaan yang kurang memadai, peralatan yang kurang memadai, dan beban kerja,” ujarnya, seperti dikutip dari YouTube Kementerian Kesehatan RI.
Imran juga mengingatkan bahaya masalah kesehatan jiwa pekerja bagi performa organisasi.
Masalah tersebut ini dapat menyebabkan turunnya produktivitas dan efisiensi, menurunnya kepuasan akan pekerjaan, moral, dan loyalitas, hingga meningkatnya turnover atau pergantian pekerja.
Selain itu, organisasi juga berisiko mengalami peningkatan absensi pekerja karena sakit, meningkatnya konflik dan penurunan kualitas hubungan sesama, sampai biaya pengeluaran untuk masalah kesehatan atau kecelakaan yang dapat meningkat.
Kemenkes juga menyoroti rendahnya skrining kesehatan jiwa di tempat kerja. Sementara, skrining di sekolah, menurut data Kemenkes, mencapai 57,47 persen.
Baca Juga: Duh! 82% Karyawan Asia Punya Risiko Kesehatan Mental Sedang Hingga Tinggi
“Skrining di tempat kerja ternyata masih sangat kecil, jadi hanya sekitar 2,3 persen,” kata Imran.
Hal ini disebabkan karena petugas puskesmas yang kesulitan atau tidak mendapatkan izin untuk melakukan skrining pekerja, oleh tempat kerjanya.
“Padahal sebetulnya peluangnya sangat besar, misalnya pada saat melakukan medical check-up pada saat penerimaan pegawai, itu bisa dilakukan,” ujar Imran.
Dalam kesempatan yang sama, dokter spesialis okupasi Palupi Agustina Djayadi juga mengungkapkan beberapa faktor yang kerap menjadi penyebab stres di tempat kerja, salah satunya ketidakjelasan peran.
“Kadang ketidakjelasan peran di tempat kita bekerja, ada kaitannya dengan posisi kerja kita saat ini tidak sesuai dengan latar belakang pendidikan, atau tempat kita bekerja saat ini belum punya manajerial yang oke,” kata Palupi.
Selain itu, faktor lainnya termasuk beban kerja berlebih, konflik peran, masalah pengembangan karier, tanggung jawab terhadap orang lain, dan perundungan.
Baca Juga: WHO: Hampir 1 Miliar Orang di Dunia Alami Gangguan Mental
Imran pun menegaskan, masalah kesehatan mental tidak hanya menjadi tanggung jawab di sektor kesehatan. Namun, juga dibutuhkan peran aktif dari sektor lain termasuk asosiasi pekerja, organisasi profesi, kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan lain-lain.
“Kita sama-sama untuk mempromosikan dan sama-sama peduli dengan kesehatan jiwa ini, terutama tahun ini kita bicara tentang kesehatan mental di tempat kerja,” kata Imran.
“Karena kalau dia di kantornya, di tempat kerjanya bermasalah, tidak jarang masalahnya akan dibawa sampai ke rumah, dan di rumah akan juga berdampak pada keluarga dan anak-anaknya, dampaknya akan jadi lebih panjang lagi.”