Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Profesional

Bukan Resign Biasa, Revenge Quitting Diprediksi Jadi Tren di 2025

Sumber foto: freepik.comIlustrasi resign. (Sumber foto: freepik.com)

TopCareer.idRevenge quitting jadi salah satu istilah yang jadi tren di kalangan pekerja saat ini. Fenomena ini bukan sekadar pengunduran diri atau resign biasa.

Revenge quitting merupakan bentuk perlawanan terhadap kondisi kerja yang tidak lagi mendukung kesejahteraan dan pertumbuhan seseorang.

Menurut Glassdoor Worklife Trends 2025, 65 persen karyawan merasa terjebak dalam pekerjaan mereka saat ini. Karier yang jalan di tempat dan gaji yang tak bisa mengikuti laju inflasi, telah memicu peningkatan ketidakpuasan di kalangan pekerja.

Selama dua tahun terakhir, tingkat kepuasan karyawan di berbagai industri cenderung menurun.

“Budaya dan perilaku di tempat kerja di banyak organisasi tidak sesuai dengan harapan karyawan,” kata Vi Paxinos, CEO dari Allbright dan Everywoman, dikutip dari Harpers Bazaar, Rabu (15/1/2025).

Paxinos mengatakan, studi AllBright Future of Work menunjukkan laporan yang mengkhawatirkan.

“Data mengungkapkan bahwa 43 persen perempuan ingin mengundurkan diri, 73 persen tidak puas dengan perkembangan karier mereka, dan 43 persen merasa benar-benar kelelahan,” kata Paxinos.

Baca Juga: Susah ‘Resign’ Bikin Pekerja di Jepang Minta Bantuan Agensi

Di 2024, ketidakpuasan di kalangan pekerja terus meningkat, di tengah melambatnya pasar kerja dan semakin sedikitnya peluang untuk berkembang.

Quiet quitting” atau hanya melakukan pekerjaan minimal yang diminta demi mendapatkan gaji di akhir bulan akhirnya.

Namun, banyak prediksi ekonomi yang memperkirakan bahwa di 2025, akan ada lebih banyak perekrutan, seiring meningkatnya kepercayaan bisnis.

Jika ini terjadi, kemungkinan akan muncul tren “revenge quitting“, di mana karyawan yang didorong oleh peluang baru, memilih untuk mengundurkan diri.

Di era pascapandemi, para pekerja, khususnya perempuan, tidak hanya mencari gaji yang lebih baik dan jabatan lebih tinggi, tapi juga lingkungan kerja yang lebih sesuai dengan nilai-nilai mereka.

“Saya melihat ada perubahan besar pada budaya tempat kerja, di mana tujuan dan nilai, rasa memiliki, serta lingkungan kerja yang inklusif dan beragam jadi makin penting bagi karyawan,” kata Emily Button-Lynham, pendiri konsultan pelatihan EBC.

Karyawan pun semakin mencari pekerjaan di tempat yang menawarkan nilai-nilai yang sejalan dengan diri mereka, komunitas yang suportif, gaji yang layak, serta keseimbangan antara kehidupan dan pekerjaan.

Baca Juga: Mau Ubah Arah Karier? Tanyakan Ini Dulu pada Diri Sendiri!

“Pandemi membuat banyak orang menilai kembali hubungan mereka dengan pekerjaan, yang kemudian memunculkan kesadaran budaya kerja keras tradisional kerap membawa dampak buruk terhadap kesejahteraan pribadi,” kata Paxinos.

Ini ditambah dengan media sosial yang memperkuat dan menormalkan diskusi tentang meninggalkan lingkungan kerja toxic, sehingga makin banyak orang yang enggan bertahan dengan situasi yang merugikan kesejahteraannya.

Jika Anda merasa ingin melakukan “revenge quitting“, Button-Lynham menyarankan agar tidak tergesa-gesa dalam membuat keputusan.

“Saya selalu menyarankan klien untuk meluangkan waktu menilai apakah meninggalkan pekerjaannya adalah satu-satunya pilihan,” kata Button-Lynham.

Tanyakan ke diri sendiri apa arti kesuksesan bagi Anda, dan eksplorasi kehidupan masa depan yang diinginkan, serta bagaimana pekerjaan saat ini dapat membantu mencapainya.

Jika memungkinkan, identifikasi apa yang Anda butuhkan agar merasa lebih bahagia di tempat kerja, entah itu tanggung jawab yang lebih besar, fleksibilitas, kenaikan gaji, atau pengakuan, dan diskusikan dengan atasan terlebih dahulu.

Sementara, menurut Paxinos, ambillah waktu sejenak dan pikirkan dengan tenang sebelum membuat keputusan besar. “Emosi yang kuat bisa mengaburkan penilaian kita,” katanya.

Baca Juga: Tidak Sreg dengan Kerjaan Baru? Coba Lakukan Ini

“Cobalah berhenti sejenak untuk mengidentifikasi apa yang memicu perasaan Anda. Apakah itu insiden tertentu atau pola perilaku yang berulang? Kadang, masalah yang tampaknya tidak teratasi bisa memiliki solusi jika ditangani dengan tepat.”

Namun, kata Paxinos, ada kondisi-kondisi tertentu di mana mengundurkan diri mungkin merupakan satu-satunya opsi.

“Jika Anda mengalami pelecehan, diskriminasi, atau pelanggaran etika, itu adalah tanda bahaya yang jelas,” ujarnya.

“Jika Anda telah mencoba mengatasi masalah melalui saluran yang tepat tetapi tak ada respon, atau jika lingkungan memengaruhi kesehatan mental Anda, sangat penting untuk memprioritaskan kesejahteraan Anda,” kata Paxinos.

Jika Anda merasa tergoda untuk mengundurkan diri karena rasa frustrasi atau dendam, ingatlah untuk fokus pada pengembangan diri, bukan pada balas dendam atau membuktikan sesuatu kepada orang lain.

Bagaimanapun, cara terbaik untuk balas dendam adalah dengan membuat keputusan yang matang dan bijak, beralih ke peluang yang lebih sesuai dengan diri Anda, nilai-nilai yang dipegang, serta target karier jangka panjang Anda.

Leave a Reply