Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Tren

Pajak Pesangon dan Uang Pensiun Digugat Karyawan Swasta

Ilustrasi dompet berisi uang (Athalla/Topcareer.id)Ilustrasi dompet berisi uang (Athalla/Topcareer.id)

TopCareer.id – Dua karyawan swasta menggugat aturan pajak pesangon dan uang pensiun. Permohonan uji materi ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Rosul Siregar dan Maksum Harahap, mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Pemohon menguji ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang menempatkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak termasuk pesangon dan pensiun, serta Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP yang menerapkan tarif progresif/pesangon dan pensiun.

“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” kata kuasa hukum para Pemohon Ali Mukmin dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, Senin (6/10/2025) di Ruang Sidang MK, Jakarta.

Baca Juga: MK Batalkan UU Tapera: Berpotensi Timbulkan Beban Ganda Pekerja

Menurut pemohon, seperti dikutip dari laman resmi MK, aturan ini membuat pesangon dan uang pensiun diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru.

Padahal, kata mereka, secara filosofis dan sosiologis, pesangon dan pensiun tidak bisa disamakan dengan keuntungan usaha atau laba mobal, namun bentuk “tabungan terakhir” hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya.

Pemerintah dan DPR dinilai menganggap pajak pesangon yang diterima sekaligus sebagai tambahan kemampuan ekonomis, padahal ini adalah tabungan yang dipotong dari gaji setiap bulan, serta penghargaan dari perusahaan untuk karyawan yang memasuki masa pensiun.

Negara dinilai tega mengambil bagian dari jatah atas rakyat untuk biaya hidup sampai kepada kematian, padahal karyawan/pensiunan telah dipotong langsung pajaknya puluhan tahun, dan kontribusi balik secara langsung kepada pembayar pajak tidak ada.

Pemohon menilai aturan ini bertentangan dengan konstitusi, khususnya Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

Mereka menyebut, saat negara membebani pajak atas pesangon dan pensiun, maka pekerja berada dalam posisi lemah di masa tua, diperlakukan seolah-olah masih dalam posisi kuat dan produktif.

Baca Juga: Micro-Retirement, Tren Pensiun Singkat ala Gen Z dan Milenial

MK pun diminta menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 yaitu Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2); menyatakan ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT.

Pemerintah juga didesak untuk tidak mengenakan pajak atas pensiun/pesangon/THT/JHT bagi seluruh rakyat, baik pegawai pemerintah maupun swasta; serta memerintahkan pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan UUD NRI 1945.

Diketahui, kedua pemohon akan memasuki masa pensiun dalam waktu dekat.

Rosul Siregar akan masuk masa pensiun bulan Oktober 2025, sementara Maksum Harahap akan pensiun dalam beberapa tahun mendatang di perusahaan yang berbeda.

Pasal-pasal yang digugat pun membuat pemohon khawatir uang pensiun yang harusnya menjadi bekal mereka setelah tidak bekerja, berkurang karena dikenakan pemotongan pajak progresif yang signifikan.

Leave a Reply