TopCareer.id – Fotografi jalanan atau street photography terhadap para pelari belakangan jadi perbincangan di media sosial.
Banyak pelari merasa hal ini melanggar privasi, tapi ada juga yang menilai tak masalah untuk difoto secara cuma-cuma.
Masalah pelanggaran privasi pun muncul karena mereka yang hasil foto tanpa izin tersebut diunggah secara digital dan dijual bagi mereka yang menginginkannya.
Elok Santi Jesica, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan, fotografi di ruang publik sebenarnya sah-sah saja.
Ia mengatakan, ruang publik merupakan hak warga dan sudah semestinya bisa diakses secara demokratis untuk beberapa fungsi, misalnya untuk membangun komunitas.
Namun, saat obyek tersebut adalah orang lain dan dilakukan tanpa izin, maka ini rentan menjadi pelanggaran privasi.
“Jika hal ini dilakukan tanpa persetujuan atau izin (consent), kondisi ini rentan melanggar hak dan privasi dari orang yang dijadikan objek fotografi,” kata Elok, mengutip laman resmi UGM, Jumat (7/11/2025).
Baca Juga: Fotografi di Ruang Publik Jadi Kontroversi, Komdigi Ingatkan Ini
Perampasan atas hak dan privasi ini menjadi lebih serius ketika fotografer menjual foto yang diproduksinya
“Artinya fotografer mengkodifikasikan foto-foto ini dan menjualnya untuk mendapatkan keuntungan, padahal belum tentu orang yang difoto menyetujuinya,” Elok menambahkan.
Elok menegaskan, menjadikan orang lain obyek fotografi harus membutuhkan izin. Namun, ini tak cukup. Izin penggunaan foto juga harus diinformasikan.
“Meskipun sudah mendapatkan izin, peruntukan dan penggunaan foto juga perlu diinformasikan pada yang bersangkutan,” kata Elok.
Penggunaan foto tanpa izin orang yang dipotret berpotensi melanggar Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Sementara, distribusi foto di platform media sosial maupun platform penjualan foto bisa terkait dengan pelanggaran UU ITE.
Namun, kata Elok, belum ada undang-undang yang spesifik mengatur mengenai pengambilan foto orang lain tanpa izin sebagai bentuk pelanggaran privasi di Indonesia.
“Di negara-negara lain hal ini sudah berlaku sejak lama, contohnya di Korea Selatan, mengambil foto orang lain tanpa izin dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran dan kekerasan seksual dengan hukuman pidana dan denda,” jelasnya.
Baca Juga: Begini Cara Menjual Hasil Karya Fotografi di Shutterstock
Jika ingin melakukan street photography, Elok pun menegaskan dibutuhkan kehati-hatian.
Tak cuma fotografi jalanan, Elok mengatakan segala jenis foto, video, dan perekaman data digital membutuhkan persetujuan dan izin.
Peruntukan dan praktik distribusinya juga perlu persetujuan dan izin, misalnya untuk keperluan promosi lembaga atau brand, lalu akan diunggah ke media sosial atau platform komersial lainnya.
“Dengan adanya persetujuan, harapannya tidak ada hak-hak dari orang lain yang dilanggar,” kata Elok.
Masyarakat juga perlu memahami perekaman dan pendistribusian data di ruang digital memiliki konsekuensi dan serangkaian risiko.
“Harapannya ke depan semoga kehati-hatian dan kesadaran akan risiko tetap mengiringi pilihan-pilihan dalam mengikuti trend yang ada di media sosial,” pungkas Elok.













