TopCareer.id – Pakar dari Universitas Airlangga (Unair) mengingatkan agar pembangunan gedung tinggi di Indonesia harus memperhatikan standar keselamatan, termasuk dalam antisipasi kebakaran.
Menurut Neffrety Nilamsari, Dosen D4 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), Fakultas Vokasi (FV) Unair, risiko terjadinya kebakaran akan semakin tinggi, jika tidak ada antisipasi dini dengan standar keselamatan kebakaran yang tepat.
Dikutip dari laman resmi Unair, ia mengatakan bahwa hal terpenting dalam pembangunan gedung tinggi mengacu pada dua regulasi.
Regulasi yang pertama adalah Permen RI Nomor 36 Tahun 2005 khususnya pasal 59 dan regulasi kedua mengenai Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2017.
“Pada kedua peraturan ini, mestinya pengelola atau pemilik gedung itu tunduk pada kedua regulasi ini supaya terpenuhi kriteria utama suatu bangunan dimana harus memiliki sistem proteksi aktif maupun pasif,” ujarnya.
Baca Juga: Menaker Ungkap Kasus Kecelakaan Kerja Meningkat 3 Tahun Terakhir
Neffrety menegaskan, pengelola gedung harus punya proteksi aktif yang dapat menjadi langkah pencegahan atau penanggulangan kebakaran.
“Harus ada APAR, kemudian instalasi hidran, kemudian juga dipasang alarm system. Kalau alarm system tentunya juga dilengkapi dengan detektor, bisa detektor panas ataupun detektor asap,” ujarnya, ditulis Rabu (5/2/2025).
Selain sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif juga berperan penting dalam proses penanggulangan saat kebakaran terjadi.
Sistem proteksi pasif dapat membantu korban terdampak, agar dapat segera melakukan proses evakuasi untuk menyelamatkan diri.
“Pada kejadian terakhir itu, setelah investigasi ternyata gedung tersebut tidak memiliki jalur evakuasi yang ter-update,” kata Neffrety.
“Dalam artian korban atau penghuni disitu kesulitan menemukan jalan keluar akhirnya terjebak di suatu tempat sehingga ditemukan sudah tak bernyawa,” dia menambahkan.
Baca Juga: Efek Kalau Perusahaan Tak Patuh K3 di Lingkungan Kerja
Menurutnya, ini harus jadi perhatian agar tidak terjadi kegagalan sistem proteksi kebakaran.
Penting juga untuk mengoptimalkan peranan jalur evakuasi pada sebuah gedung, agar peluang keselamatan penghuni lebih besar.
Neffrety mengatakan, ini diawali kesadaran diri masing-masing, untuk dapat mengidentifikasi potensi bahaya dan juga sosialisasi dari pihak pengelola gedung.
Ia menyebut, dibutuhkan juga kepedulian dari pihak gedung untuk memberikan petunjuk terkait rute peta jalur evakuasi dan juga sosialisasi.
“Bisa melalui media suara, audio visual, atau pada board di pintu masuk ataupun juga bisa dipasang di setiap lantai yang secara berulang atau berkala bisa diputar,” kata Neffrety.
Baca Juga: Terkena Gempa saat di Gedung Tinggi? Segera Lakukan Ini
Sebagai bentuk antisipasi, penghuni juga harus bisa mengonfirmasi kepada pihak pengelola gedung, mengenai kejelasan sistem proteksi atau pelatihan simulasi kebakaran.
“Hal-hal seperti itu bukan suatu hal yang bikin repot pengelola gedung tapi itu adalah hak setiap orang yang tentunya kita mengeluarkan uang kita butuh aman dan nyaman,” kata Neffrety.
Namun, ia menegaskan penghuni juga tetap butuh antisipasi mandiri.
“Kita harus punya inisiatif untuk pencegahan pribadi maupun upaya pengendalian dengan menghafalkan rute jalur keluar, kemudian kita bisa menyediakan APAR sebagai antisipasi kebakaran, jadi harus ada kesadaran dulu,” kata Neffrety.
Peran aktif dan kolaborasi semua pihak pun diperlukan, untuk menciptakan keamanan, kenyamanan, dan perlindungan terhadap seluruh penghuni gedung bertingkat.