Topcareer.id – Adecco (perusahaan sumber daya manusia terbesar di dunia) merilis Indeks Daya Saing Global Talent 2020 di Forum Ekonomi Dunia di Davos. Dalm indeks tersebut, Swiss jadi negara nomor satu dengan tingkat daya saing terbaik. Lalu Indonesia bagaimana?
Swiss tetap menjadi negara nomor satu di dunia karena menarik dan mempertahankan talenta, selama tujuh tahun berturut-turut. Amerika Serikat naik satu tempat ke tempat kedua, menjatuhkan Singapura ke tempat ketiga dalam peringkat.
Indonesia sendiri tercatat di peringkat 65 dari 132 negara dengan skor 41.81, terpaut jauh dengan Singapura yang menduduki peringkat tiga di dunia. Malaysia sendiri, tetangga Indonesia, meraih peringkat ke-26 dengan skor 60.04.
Baca juga: Maskapai dan Bandara Paling Tepat Waktu di Dunia. Ada Garuda Indonesia!
Sepuluh negara peringkat teratas untuk daya saing talenta 2020 berdasar laporan Adecco, yakni:
- Swiss (skor: 81.26)
- Amerika Serikat (skor: 79.09)
- Singapura (skor: 78.48)
- Swedia (skor: 75.82)
- Denmark (skor: 75.18)
- Belanda (skor: 74.99)
- Finlandia (skor: 74.47)
- Luksemburg (skor: 73.94)
- Norwegia (skor 72.91)
- Australia (skor: 72.53)
Adecco mencatat bahwa negara-negara berpenghasilan tinggi terus mendominasi 25 tempat teratas dalam daftar. Indeksnya menemukan bahwa para talenta pemenang ini semakin jauh dari negara-negara lain di dunia.
AI mengintensifkan kesenjangan ini, Adecco menunjukkan bahwa lebih dari setengah populasi di negara berkembang bahkan tidak memiliki keterampilan digital dasar, seperti menggunakan alat salin dan tempel. Ini menurut data dari International Telecommunication Union.
Baca juga: Perkembangan Startup di Indonesia, Sejauh Mana?
Alain Dehaze, CEO Adecco Group, mengatakan bahwa robot dan algoritma telah melampaui lantai pabrik, yang beroperasi di banyak area lain di tempat kerja.
“Di semua tingkatan, pekerja membutuhkan pelatihan untuk mengasah ‘keterampilan manusia’ klasik – kemampuan beradaptasi, kecerdasan sosial, komunikasi, pemecahan masalah dan kepemimpinan – yang akan melengkapi teknologi,” katanya.
Dehaze mengatakan bahwa para pekerja kehilangan sekitar 40 persen keterampilan setiap tiga tahun. Hal itu membuat keterampilan mereka praktis “usang” setelah satu dekade. Jadi, berinvestasi dalam pendidikan untuk penyelamatan adalah kunci.