Lima tahun di desa itu, ia kerap diminta menolong orang yang sakit di luar persalinan, seperti demam dan flu. Semuanya ditangani sendiri karena program pemerintah saat itu satu bidan untuk satu desa.
“Masyarakat waktu itu ya respect, merasa terbantu. Kan bantu berobat umum juga, pengobatan dasar. Kayak suntik KB, atau kalau cuma pusing, panas. Dasar-dasar itu bidan tahu ya. Kan kami belajar obat juga. Mengenal obat-obatan,” ujar dia.
Namun, untuk penanganan penyakit yang serius tetap harus dirujuk ke dokter karena dokter lebih paham pengobatan lanjutannya seperti apa. Misal, dalam pemberian antibiotik, itu tidak termasuk ranah bidan sehingga perlu dikonsultasikan ke dokter.
Ia mengenang ketika ditempatkan di desa terpencil, seorang bidan harus rela siaga menangani pasien 24 jam tanpa diperbantukan siapa pun. Bahkan, kala itu bidan harus berkantor di rumah penduduk, namun tetap di bawah induk Puskesmas kecamatan.
“Tiap bulan ada program Posyandu tanganin sendiri. Paling dibantu kader untuk pencatatannya, kami ambil vaksin ke Puskesmas. Dukun beranak juga bantu kan enggak bawa (peralatan) apa-apa. Ya, kalau ada apa-apa ke Puskesmas, atau ke RSUD,” paparnya.
Bahkan, jika harus menangani pasien di luar tempat praktik, dirinya selalu terkendala transportasi yang masih sulit karena akses yang minim. “Belum ada listrik, mobil jarang juga. Tapi harus langsung datang ke masyarakat. Perjuangannya lebih berat,” kenang Rosmiyati.