Ia berpendapat bahwa seharusnya lulusan bidan bisa disalurkan oleh pemerintah ke daerah-daerah agar lebih merata, sehingga kesempatan para lulusan bidan ini untuk mendapat pekerjaan lebih terbuka lebar.
“Misalnya pemerintah rekrut tahun ini, harus buka pendaftaran 1.000 bidan. Terus perjanjiannya untuk ditempatkan di daerah-daerah terpencil. Gitu harusnya, kalau pribadi lulusan bidannya sendiri ke daerah terpencil ya enggak mungkin,” kata dia.
“Mereka (lulusan bidan) maunya pada di Jakarta semua, atau paling enggak orang Jawa ya maunya di Jawa. Enggak mau dong ke luar daerah. Misal nih ya, setelah lulus enggak dapat kerjaan bidan, mungkin mereka lebih memilih enggak jadi bidan daripada ke luar daerah. Apalagi kalau sudah punya keluarga, ya di rumah aja,” lanjut perempuan yang sempat sekolah keperawatan ini.
Rosmiyati menambahkan, selain mengandalkan peluang kerja yang dibuka pemerintah, lulusan bidan juga bisa masuk ke rumah sakit swasta, menjadi honorer, atau pahit-pahitnya membuka bidan praktik mandiri (BPM).
“Pasien kan enggak semua ke Puskesmas, enggak semua ke rumah sakit. Mungkin larinya ke bidan swasta yang pelayanannya lebih pribadi. Lebih diperhatiin gitu.”
Terkait persyaratan bidan praktik mandiri ini, Rosmiyati tidak mengetahui secara menyeluruh. Ia mengatakan, tiap bidan harus memiliki surat registrasi bidan. Dan pembuatan surat itu harus melalui uji kompetensi. “Kalau buka praktik sendiri, yang jelas ada tempat, terus izin. Izinnya itu melalui IBI (Ikatan Bidan Indonesia) yang saya tahu.”