Topcareer.id – Mengurus perhelatan pameran seni, seperti pameran lukisan, terkait pengkurasian, memang jadi tanggung jawab seorang kurator. Namun, lantaran pekerjaan kurator masih seperti bayang-bayang, khususnya di Indonesia, tugas dan tanggung jawabnya pun ikut samar.
Seorang kurator yang juga Direktur Jogja Biennale Indonesia, Alia Swastika mengatakan bahwa untuk di Indonesia, profesi kurator ini seolah harus menjalankan segalanya sendirian.
“Mulai dari ide, mencari seniman, fundraising. Dan fundraising itu lumayan susah, selalu kendalanya di situ. Nyari tempat sendiri, nawarin sendiri. Itu kayak one man show kadang-kadang,” kata Alia kepada TopCareer.id saat ditemui di acara Ide Fest 2019, JCC, Sabtu (5/10/2019).
Ia menilai profesi kurator di Indonesia ini masih belum ada ekosistemnya seperti apa. Jadi, semuanya harus dibuat mandiri. Namun, itulah tantangan terbesarnya. Ia sebagai kurator harus bisa menjalani berbagai aspek tersebut sehingga pameran bisa berjalan dengan baik.
Mungkin, kata dia, karena pekerjaan bidang ini masih sangat baru dan belum diakui sebagai profesi yang dibutuhkan oleh sebuah institusi. Sehingga pola kerja seorang kurator pada umumnya tidak tergambar secara jelas.
“Kalau di luar negeri kan nggak langsung jadi kurator ya. Jadi asisten kurator dulu, asisten apa dulu, jadi ada karier ya, kalau di Indonesia nggak ada karier,” ujar perempuan lulusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada ini.
Sekali lagi ia sampaikan, untuk yang ingin menjadi kurator maka harus berani bekerja sendirian. Sejak membuat gagasan hingga masuk ke ranah publik dalam bentuk pameran.
Sementara itu, Associate Curator untuk Seni Film dan Media, Michael Mansfield menyampaikan tantangan yang ia hadapi sebagai kurator di era digital ini. Menurutnya, media digital adalah aspek yang semakin penting dari warisan budaya, dan saat ini, memainkan dua peran penting dalam inisiatif museum.
“Pertama, lembaga ini membuat alat digital sendiri untuk membantu upaya pelestarian di sekitar karya seni media, baik yang berbasis analog maupun computer,” ujar Michael dalam laman Library.
Dan kedua, sambungnya, banyak seniman kontemporer membuat karya seni menggunakan bahasa digital baru dan unik.
“Masalah-masalah ini menghadirkan tantangan yang signifikan, tetapi tantangan yang ingin kami tanggapi.” *
Editor: Ade Irwansyah