TopCareerID

Madani Film Festival 2019: Review Yomeddine, Wakil Mesir di Cannes dan Oscar

Topcareer.id – Pandangan orang pada penyakit kusta atau lepra ternyata tak banyak beranjak meski kini kita memasuki era 4.0 dan post truth. Itu kesan pertama saya saat nonton Yomeddine (2018), film pembuka Madani Film Festival 2019. Yomeddine sebuah film istimewa dari Mesir. Mewakili negeri para firaun itu di ajang Oscar tahun ini dan sebelumnya dilombakan di sesi kompetisi Festival Film Cannes 2018.

Ada momen saat si tokoh kita yang mengidap lepra bermain air di sungai, diusir ibu yang juga tengah memandikan anaknya di sungai yang sama. Atau berbagai tatapan penasaran diiringi jijik dan ngeri orang-orang pada tokoh kita di sepanjang film ini.

Tokoh kita di Yomeddine adalah Beshay (diperankan Rady Gamal yang bukan aktor profesional namun aktingnya jempolan), seorang laki-laki 40 tahun nan buruk rupa yang sembuh dari kusta, namun menyisakan bekas penyakit itu di kedua tangannya.

Baca juga: Review Perempuan Tanah Jahanam: Joko Anwar Sekali Lagi Bicara Ibuisme

Ia tinggal di sebuah tempat penampungan penderita kusta di bagian utara Mesir. Sehari-hari ia bekerja mengais barang-barang di tempat pembuangan sampah, mencari benda yang kira-kira masih berguna untuk ia jual kembali. Beshay punya istri tapi hidup sendiri. Istrinya dirawat karena penyakit mental. Sahabatnya hanya seekor bagal dan anak yatim piatu panti asuhan yang dipanggil Obama (Ahmed Abdelhafiz).

Syahdan, istri Beshay meninggal. Ibu mertuanya datang berziarah sesudah pemakaman. Kedatangan sang mertua membuatnya mengambil keputusan mencari orangtua kandungnya. Ia samar-samar masih ingat ditinggalkan ayahnya ketika kecil di pintu gerbang tempat penampungan penderita kusta. Sejak itu, selama puluhan tahun ia tak pernah lagi melihat ayah atau kerabat lainnya.

Beshay lalu melakukan perjalanan, naik gerobak yang dipandu keledainya. Obama diam-diam menyusup ke gerobak. Ketika ketahuan, perjalanan sudah terlalu jauh hingga Beshay terpaksa mengajaknya ikut serta.

Dok. Variety

Sesuai formula road movie

Dari sini Yomeddine menunjukkan esensinya sebagai sebuah road movie alias film perjalanan. Jenis ini punya arti para tokohnya melakukan perjalanan dari satu titik ke titik lain. Sepanjang perjalanan itu, biasanya sang tokoh atau para tokoh menemukan makna hidup. Perjalanan fisik yang dilalui, berikut rintangan yang datang, membentuk jati diri mereka. Hal ini kemudian juga dimaknai bahwa perjalanan fisik tersebut adalah juga perjalanan batin si tokoh.

Baca juga: Review Gemini Man: Saat Ang Lee Menyia-nyiakan Teknologi

Yomeddine tak beranjak dari pakem itu. Kita melihat Beshay dan Obama mendapati berbagai halangan dan rintangan, mulai dari Obama masuk klinik karena terluka, uang dicuri orang, ditangkap polisi, si keledai mati kelelahan hingga akhirnya bertemu orang-orang baik dari kelas bawah Mesir.

Dalam ulasannya, Variety menyebut film ini dibesut sutradara debutan A.B. Shawky yang kurang familiar di jagat perfilman Mesir. Ia lulusan New York University dan tampak paham betul bahasa film Hollywood. Road movie ini, walau lahir dari tanah Mesir, terasa betul memakai rumus film Hollywood babak per babak.

Hasilnya, buat penonton awam, film ini sangat enak diikuti karena gaya penyajiannya yang terasa familiar. Film ini sukses mengharu biru tanpa terasa terlalu sentimentil. Porsinya pas. Ada sedih, ada lucu, ada juga sedikit adegan menegangkan. Usai nonton pun efek yang ditimbulkan sama: sebuah film yang memberi efek nyaman di dada, a feel good movie.

Dok. LA Times

Salahkah itu? Oh, tentu tidak. Sah-sah saja pakai bahasa khas Hollywood. Apalagi efek ikutannya pesan yang ingin disampaikan sineasnya jadi lebih mudah sampai ke penonton.

Salah satu yang mengena buat saya yakni di Mesir yang Islam dan non-Islam tak bisa dibedakan dari tampilan luar. Tokoh utama kita, Beshay seorang penganut Kristen. Namun, ia mengucap nama Tuhan dengan lapal yang sama dalam bahasa Arab.

Ia pun mengenakan pakaian khas Timur Tengah yang di sini identik hanya dipakai orang Muslim (yang ingin menunjukkan identitas keislaman lewat berpakaian ala Timur Tengah).

Bahkan saat istrinya meninggal, orang Muslim mengatakan si istri yang Kristen akan langsung masuk surga karena yang tak waras tak dihisab. Soal agama mereka berbeda dikesampingkan. Di sini, sulit membayangkan ada yang berkata demikian pada yang beragama berbeda.

Makna “Yawmid-diin

Yomeddine berarti hari pembalasan. Kita mungkin lebih familiar dengan ejaan “yawmid-diin” seperti penggalan ayat ke-4 surat Al-Fatihah, “Maaliki yawmid-diin” atau “Penguasa hari perhitungan (atau pembalasan).”

Di buku Mengarungi Samudera Al-Fatihah (Kukuruyuk Publishing, 2019), Qaris Tajuddin, wartawan Tempo yang juga lulusan Universitas Al Azhar Kairo, menulis kata “diin” punya banyak makna. Ia bisa berarti agama, serta juga berarti: kebiasaan, tradisi, jalan, hidup berhati-hati. Meski berbeda, arti-arti itu bisa dikelompokkan menjadi satu hal, yaitu jalan hidup.

Baca juga: Review Film Joker: Kala Kebobrokan Sosial dan Depresi Melahirkan Penjahat

Ada pula arti lain, yaitu kerajaan, sultan, pemerintahan. Arti kekuasaan ini muncul karena di masa lalu penguasa dianggap sebagai kepanjangan tangan tuhan, dan dengan begitu berhak menentukan agama rakyatnya.

Sedikit banyak, selain bicara tentang jalan hidup atau kisah perjalanan hidup, Yomeddine juga bicara tentang kematian. Di film ini sejumlah kematian terjadi dan dibicarakan.

Pun hari pembalasan. Hampir semua agama punya konsep tentang hari akhir/pembalasan. Tujuannya sebagai wujud Kemaha-adilan Tuhan, untuk memotivasi umat berbuat baik dan menjauhi yang dilarang serta untuk mendewasakan dan mendidik umat.

Yang jadi masalah, catat Qaris, ketika itu jadi satu-satunya alasan beragama. Sebab, sambil menyitir ucapan Rasul, alasan beragama adalah menjadikan kita orang dengan karakter baik. “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” Surga dan neraka dipandang hanya sebagai motivasi. Bukan tujuan beragama.

Sampai di situ pesannya sama dengan Yomeddine: kebaikan bisa datang dari mana saja. Bahkan dari si miskin penderita kusta yang non-Muslim dan bocah yang tak berayah-ibu.

Yomeddine membuka Madani Film Festival 2019. Festival film ini berlangsung hingga 27 Oktober 2019. Jadwal film lain yang diputar dan berbagai acara di festival itu bisa dilihat di laman resmi dan akun sosial Madani Film Festival. *

Editor: Feby Ferdian

Exit mobile version