Ide awal membentuk Musikono
Menurut penuturan Bagus, acara musik seringnya diadakan di tempat pertunjukan konvensional, lengkap dengan fasilitas memadai, dan biasanya ada di kota. Sementara, orang-orang yang rumahnya di desa dan berjarak cukup jauh belum tentu mau datang untuk sebuah pertunjukan musik yang mungkin belum mereka kenal.
Karena itulah, kata dia, muncul ide untuk sebuah kemungkinan, musisilah yang mendatangi orang-orang di desa dan membawakan karya musiknya.
“Di banyak desa, musik non tradisi yang sering dikonsumsi masyarakat terdominasi jenis musik dangdut koplo. Hal ini sangat menggugah untuk memberi tambahan referensi (baca: gizi) lain dengan cara mendekatkan dan menyuguhkan dalam bentuk pertunjukan,” jelas dia.
“Membawakan karya-karya musik pilihan dan mengemasnya dalam bentuk yang luwes agar musik yang disajikan dapat dikonsumsi secara ikhlas tanpa paksaan, untung-untung kalau ada yang datang dengan rasa penasaran,” lanjut pria lulusan ISI Yogyakarta ini.
Menurut Bagus, mendekat pada desa dan penghuninya, membawa ke arah pilihan musik yang tidak hanya menghibur, tapi mungkin saja sanggup memberi gambaran tentang apa yang akan diperbuat ke depan.
Musikono kerap kali mengadakan pertunjukan di wilayah Yogyakarta. Pernah juga pertunjukan di Temanggung (ke-9 dan ke-15). Pernah dipreviewkan di Ponorogo dan Bukittinggi (2019), di Kulonprogo (ke-11), di Tabanan-Bali (ke-12), di Wonosari (ke-14).
“Konsep Musikono juga pernah saya presentasikan di Za-Koenji public theater, Suginami-ku Tokyo, Jepang.”ujarnya.