Topcareer.id – Hingga kini memang belum diketahui pasti bahwa perubahan suhu, curah hujan, dan kelembaban mendorong penyebaran penyakit menular. Dampak sistem cuaca yang berubah dengan cepat pada virus corona juga belum diketahui menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Meskipun para ilmuwan masih belajar tentang Covid-19, Dr. Maria Van Kerkhove, kepala unit penyakit dan zoonosis WHO mengatakan bahwa virus telah menunjukkan kemampuan untuk hidup di sejumlah iklim yang berbeda.
“Jika kalian ingat, virus ini dimulai pada suhu yang sangat dingin, lalu berpindah ke suhu sangat kering, juga kelembaban tingkat sangat rendah. Kami belum tahu bagaimana virus ini dipengaruhi sepenuhnya,” kata Dr. Maria dalam konferensi pers di Jenewa, Rabu (15/4/2020).
Baca juga: WHO Selidiki Laporan Pasien Yang Sembuh, Kembali Positif COVID-19
China melaporkan kasus virus corona pertama yang diketahui badan kesehatan internasional pada 31 Desember ketika beberapa bagian negeri itu berada di tengah musim dingin.
Sejak itu, virus telah menyebar ke hampir setiap negara di dunia dan menginfeksi lebih dari 2 juta orang di berbagai lingkungan yang berbeda.
Mike Ryan, direktur eksekutif program kedaruratan kesehatan WHO, mengatakan bahwa ada banyak penyakit lain yang diketahui “peka-iklim”.
“Kamu mengetahui wabah kolera di seluruh dunia yang terkait dengan banjir atau kekeringan, mereka terkait dengan hal-hal soal banyaknya air atau terlalu sedikit air,” katanya, dikutip dari CNBC.
Ryan mengatakan lingkungan tertentu, seperti kota padat penduduk, juga dapat meningkatkan risiko penyakit menular. Ryan menyampaikan, Pakistan yang memiliki lebih dari 6.000 kasus Covid-19, telah berjuang untuk membersihkan virus corona yang menular di beberapa kota besar di perkotaan.
Kepadatan populasi di New York City, yang memiliki sekitar dua kali lebih banyak orang dari Los Angles, diyakini mendorong penyebaran wabah virus corona di sana.
“Sayangnya, dalam banyak hal, populasi itu hampir seperti kayu bakar dan bukan hanya api Covid-19 saja, tetapi sejumlah penyakit lainnya,” katanya.
Flu musiman?
Virus ini sering dibandingkan dengan flu musiman, yang juga membuat jutaan orang sakit setiap tahun. Ilmuwan mengatakan virus itu bisa bersifat musiman dan mengalah dalam kondisi yang lebih hangat seperti flu, tetapi itu juga berarti ia bisa kembali pada musim gugur.
“Apakah ini mungkin menjadi hal siklus musiman? Saya selalu menunjukkan kepada kalian bahwa saya pikir itu sangat mungkin,” Dr. Anthony Fauci, direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular, mengatakan briefing pers Gedung Putih pada 25 Maret.
“Apa yang mulai kami lihat di belahan bumi selatan Afrika Selatan dan negara-negara belahan bumi selatan, adalah kami memiliki kasus yang muncul saat memasuki musim dingin,” katanya.
“Jika mereka memiliki wabah yang substansial, tidak dapat dihindari bahwa kita harus siap akan mendapatkan siklus yang kedua kalinya.” *
Editor: Ade Irwansyah