Topcareer.id – Tanggal 21 April setiap tahun kita kenang sebagai hari emansipasi wanita, diambil dari hari lahir pahlawan pejuang kesetaraan perempuan Indonesia, Kartini. Ketidakadilan yang dialami perempuan sudah disaksikan Kartini kecil sejak kecil.
Kartini kecil beruntung lahir sebagai putri Sosroningrat, Bupati Jepara. Ia berkesempatan mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS) yang kebanyakan dihuni siswa-siswi Belanda.
Di sekolah, seorang kawan bertanya, apa cita-cita Kartini saat sudah besar nanti. Kartini tak bisa jawab. Ia tak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Ketika bertanya pada sang ayah, menjadi apakah dirinya kelak, dijawab ayahandanya, “Raden ayu!”
Baca juga: Perempuan: Makeup dan Kaitannya dengan Karier
Bukan itu jawaban yang ingin ia dengar. Ia tahu, menjadi raden ayu berati seorang gadis harus kawin, menjadi milik seorang laki-laki, tanpa punya hak untuk bertanya apa, siapa, atau mengapa.
Si kuda liar
Sejak kecil, Kartini tumbuh tak seperti kebanyakan gadis bangsawan Jawa. Ia memiliki jiwa gelisah dan rasa ingin tahu yang besar. Berdasarkan cerita adiknya, Kardinah, sejak kecil Kartini adalah anak yang susah diatur. Sehari-hari ia sangat gesit, lincah, sekaligus pandai. Ia suka bermain di kebun, meloncat-loncat, berlari-lari dan mudah bergaul.
“Saya dinamakan kuda kore, kuda liar, karena saya jarang berjalan, tetapi selalu meloncat-loncat dan berlari,” tulis Kartini dalam salah satu suratnya pada Estelloehandelaar. “Bagaimana saya dimaki-maki karena terlalu sering tertawa terbahak-bahak yang dikatakan tidak pantas, oleh sebab memperlihatkan gigi saya.”
Ayah dan kakak-kakaknya memanggilnya “Trinil” yang berarti burung kecil yang lincah dan cerewet. Namun sang ibu, Ngasirah, tidak suka dengan julukan itu. Ia suka marah kepada adik-adik Kartini bila mereka ikut-ikutan memanggil Trinil atau Nil.
Baca juga: Alasan 8 Maret Menjadi Hari Perempuan Internasional
Sifat iseng dimiliki Kartini dan saudara perempuannya. Alkisah, Kartini dan dua adiknya diasuh pembantu bernama Ibu Sosro. Suatu hari, sang pembantu yang mengantuk, memilih mengunci Kartini dan dua adiknya di kamar, sedang ia memilih tidur di depan pintu. Kartini dan dua adiknya berhasil menyelinap keluar kamar lalu bermain di halaman. Ibu sosro terbangun dan marah, mengancam akan mengadukan hal ini ke orangtua mereka.
Alih-alih jera, Kartini dan adik-adiknya malah membalas Ibu Sosro. Lumpang tempat Ibu Sosro menumbuk sirih dibubuhi merica. Ketika ia mengunyah sirih mulutnya langsung panas seperti terbakar. Hal itu kembali diadukan pada sang ayah. “Romo benar-benar marah pada anaknya kali itu. Sejak saat itu anak-anak tak berani berbuat seperti itu lagi,” cerita Kardinah.
Putus sekolah
Keisengan Kartini nyatanya tak berhenti di situ. Suatu kali, ia memiliki guru privat bahasa Jawa yang dipanggil Pak Danu. Kartini dan adiknya sering meminta Pak Danu membelikan makanan kesukaan mereka, pecel daun semanggi. Cara ini dilakukan untuk menghindari pelajaran. Belakangan, trik jahil ini diendus sang ayah. Mereka dimarahi dan Danu diganti guru lain.
Pada 1892, saat usia 12 tahun 6 bulan atau usia remaja putri, Sosroningrat yang meskipun berpikiran progresif mengeluarkan Kartini dari sekolah. Ia tak bisa melepaskan diri dari adat istiadat kebiasaan Jawa masa itu, meskipun tahu putrinya murid yang pintar di sekolah. Di usia itu Kartini dianggap sudah gadis dan siap dipinang.
Baca juga: Alasan Mengapa Perempuan Lebih Dianjurkan Menabung untuk Pensiun
Dalam suratnya, Kartini menceritakan kepedihannya harus berhenti sekolah. Ia memohon sampai bersujud pada sang ayah untuk meneruskan sekolah ke Semarang. Namun, ayahnya, meski sedih, tetap mengatakan tidak.
Pernah seorang gurunya bertanya, apa Kartini mau ikut temannya sekolah ke Belanda. Kartini diam. Matanya berbinar, tapi kemudian redup. Ia menjawab: “Jangan tanya apa saya mau, tanyakan apa saya boleh.” * Sumber: majalah Tempo, 28 April 2013.