Topcareer.id – Arief Budiman, seorang aktivis pro demokrasi sekaligus intelektual jempolan, tutup usia Kamis (23/4/2020) di usia 79 tahun. Ia meninggal setelah lama menderita sakit, antara lain parkinson yang dideritanya bertahun-tahun. Buat banyak orang pula, ia dikenal sebagai kakak kandung Soe Hok-gie, aktivis mahasiswa tahun 1960-an yang mati muda saat mendaki gunung.
Hanya saja, tak elok bila mengenang Arief atau Soe Hok Djin hanya sebagai kakak Gie.
Cita-cita Arief kecil menjadi penerbang. “Agar bisa jalan-jalan ke luar negeri,” katanya dikutip buku Apa & Siapa Orang Indonesia 1985-1986 terbitan Tempo. Namun, ia lebih dekat dengan dunia sastra.”
Baca juga: Mengenang Djaduk Ferianto, Seniman Serba Bisa yang Telah Tiada
Ayahnya adalah Salam Sutrawan, pengarang novel di kalangan Cina perantauan. Sejak masih kecil, Arief Budiman selalu berada di samping ketika sang ayah mengetik novel. Kecintaan pada sastra pun tumbuh di situ. Arief sering ke Perpustakaan Nasional membaca buku sastra.
Cerpennya, “Joki Anjingku”, dimuat di majalah Mimbar, yang diasuh H.B. Jassin. “Saya bangga sekali dan ingin jadi pengarang,” kata Arief. Setelah menjadi mahasiswa Fakultas Psikologi UI, ia menerima hadiah pertama penulisan esei yang diadakan oleh majalah Sastra, 1963.
Demonstran sejati
Ia juga termasuk konseptor Manifes Kebudayaan yang diberangus Lekra/PKI dan Orde Lama Soekarno. Ia juga seorang di antara aktivis mahasiswa tahun 1966 yang berperan menggulingkan Orde Lama. Ketika Orde Baru berkuasa dan mulai menampilkan wajah korup, jiwa aktivisme Arief terlecut. Ia terlibat dalam aksi menentang korupsi pada masa awal Orde Baru. Ketika partai-partai dikerdilkan rezim, Arief memilih membuat kubu baru Golongan Putih (golput) yang tidak ikut memilih.
Gara-gara aktivismenya pula, Arief sempat ditahan pihak keamanan. Ketika menyuarakan gerakan anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) pada 1970-an. Ia menjadi tahanan Kopkamtib, markas polisi Airud di Tanjungpriok, selama satu bulan. “Saya diciduk ketika sedang mengikuti seminar tentang komunikasi yang diadakan oleh Fredrich Ebert Stiftung.”
Baca juga: Mengenang Ciputra, Begawan Properti Indonesia (1931-2019)
Ia pernah pula menjadi anggota Badan Sensor Film. Namun, lagi-algi, atas perintah Kopkamtib ia dikeluarkan dari sana. Ia lalu sempat menyingkir ke Prancis dan bekerja di Association for Cultural Freedom, Paris, Prancis.
Cendekiawan murni
Berkat sponsor Seymour Martin Lipset, ia bisa masuk ke Harvard University. Maka berangkatlah ia ke Amerika memboyong istri dan kedua anaknya, walaupun beasiswanya hanya untuk dia sendiri. Di sana, istrinya, Sitti Leila Chairani, teman kuliahnya di Fakultas Psikologi UI, bekerja sebagai baby sitter, “Dan anak-anak sangat gembira bila ada yang menitipkan bayi di rumah,” kisah Arief.
Lulus dari Universitas Harvard dengan mengantungi gelar doktor sosiologi, Arief mengajar di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Karena ada perbedaan pendapat dengan Yayasan, Arief keluar, lalu mengajar di Universitas Melbourne, Australia.
Jurnalis senior dan pengamat media Andreas Harsono dalam postingan di laman Facebook-nya mengenang Arief sebagai “cendekiwan publik.”
Andreas menulis, Arief banyak mendidik mahasiswa untuk berpikir kritis, memberikan bacaan bermutu –dari Simone de Beauvoir sampai majalah New Yorker— menularkan sikap kritis dan keberanian namun juga bisa mengukur diri, dan paling penting, memberikan contoh nyata dalam menjaga integritas dan independensi.
Terakhir ia mengutip sastrawan Goenawan Mohamad, kawan enam dekade almarhum, Arief adalah “cendekiawan yang murni” … orang jujur yang tak pernah terpikat dengan kekuasaan. Selamat jalan, Pak Arief. * Dari berbagai sumber