Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Monday, October 14, 2024
idtopcareer@gmail.com
Covid-19

Mengapa Kekerasan di Rumah Cenderung Meningkat selama Pandemi?

Ilustrasi. Isabella Quintana/Pixabay

Topcareer.id – Di masa pandemi, rumah dinilai menjadi tempat aman agar terhindar dari penularan COVID-19. Namun, ternyata rumah tak selalu menjadi tempat aman bagi anak-anak, remaja, perempuan, dan lansia yang berisiko atau mengalami kekerasan.

Bukti-bukti menunjukkan bahwa kekerasan dapat meningkat selama dan setelah terjadinya wabah penyakit. Di banyak negara yang terdampak COVID-19, catatan-catatan dari saluran bantuan, polisi, dan penyedia-penyedia jasa lainnya mengindikasikan adanya peningkatan pelaporan kasus-kasus kekerasan domestik, terutama perlakuan buruk terhadap anak dan kekerasan pasangan terhadap perempuan.

Berdasar catatan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 10-50% terjadi peningkatan jumlah panggilan ke saluran bantuan untuk kekerasan domestik di beberapa negara selama pandemi. Terdapat 10x peningkatan jumlah kekerasan dan penelantaran lansia di beberapa tempat.

“Perempuan yang berada di dalam suatu hubungan dengan unsur penganiayaan lebih rentan terpapar kekerasan, begitu pula anak-anak mereka, karena anggota keluarga menghabiskan lebih banyak waktu secara berdekatan, dan keluarga harus bertahan dengan adanya stres tambahan dan kemungkinan mengalami kerugian dalam hal finansial dan kehilangan pekerjaan,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dikutip dari laporan WHO, April 2020.

Lantas, mengapa kekerasan di rumah cenderung meningkat selama dan setelah pandemi COVID-19?

Baca juga: Perempuan di Seluruh Dunia Serukan Setop Kekerasan dalam Rumah Tangga

Terdapat beberapa faktor risiko yang dapat memperburuk situasi, yang diakibatkan oleh respons terhadap pandemi ini, menurut WHO:

1. Anjuran untuk tetap di rumah saja dapat meningkatkan risiko kekerasan bagi perempuan, anak-anak, dan lansia karena meningkatnya waktu yang dihabiskan bersama pelaku kekerasan dan mereka terus bertemu dengan pelaku kekerasan.

2. Berbagai faktor pemicu stres, termasuk ketidakpastian ekonomi, kehilangan pekerjaan, dan kondisi tempat tinggal yang terlalu padat sehingga menjaga jarak fisik tidak memungkinkan, dapat meningkatkan terjadinya kekerasan di dalam rumah.

3. Akses yang terbatas atau tidak adanya akses ke jaringan dukungan untuk perlindungan – baik informal (misalnya keluarga, kerabat, teman, tetangga, guru sekolah atau staf pendukung, kolega) maupun formal (misalnya pelayanan perlindungan, hotline, pelayanan sosial, rumah singgah) selama masa pembatasan mobilitas/sosial dapat semakin meningkatkan risiko kekerasan.

4. Pelaku kekerasan terhadap pasangan dapat menggunakan kekhawatiran-kekhawatiran terkait COVID-19 untuk lebih menguasai dan mengendalikan korbannya, termasuk dengan membatasi akses terhadap informasi dan berbagai sumber informasi penting, serta memantau komunikasi (misalnya telepon, telepon selular/kartu sim, internet), sehingga sulit bagi korban untuk menghubungi pelayanan pendukung dan mengakses pelayanan kesehatan.

5. Berada di dalam rumah dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan peningkatan konsumsi alkohol dan zat-zat berbahaya lainnya, yang dapat dikaitkan dengan terjadinya kekerasan.**(Feb)

Leave a Reply