TopCareer.id – Berita buruk menghantui media dan informasi di Indonesia saat ini. Terlalu banyak mengonsumsi informasi-informasi negatif pun dapat berdampak pada kesehatan mental seseorang.
Masyarakat belakangan menghadapi berbagai berita buruk mulai dari kebijakan kontroversial pemerintah, demonstrasi, gejolak ekonomi, hingga korupsi.
Menurut Pamela Andari Priyudha, psikolog klinis, situasi ini tak hanya menciptakan keresahan sosial, tapi juga berimbas pada ranah psikologis individu secara mendalam.
Pamela mengatakan, terpapar berita buruk secara terus menerus dapat menyebabkan seseorang mengalami ketegangan psikologis yang kronis dan kolektif.
Baca Juga: Kemenkes: Pimpinan Perusahaan Harus Peduli Kesehatan Jiwa Pekerja
“Ketika seseorang merasa tidak berdaya, mereka bisa mengalami learned helplessness yaitu kondisi di mana merasa tidak mampu mengubah situasi meskipun sebenarnya ada peluang,” ujarnya.
“Ini sangat berbahaya karena dapat menimbulkan apatisme, frustasi, dan depresi secara kolektif,” kata Pamela, dilansir laman resmi Universitas Gadjah Mada, Senin (14/4/2025).
Staf pengajar di Departemen Ekonomi dan Bisnis Sekolah Vokasi UGM ini menambahkan, beberapa kelompok masyarakat lebih rentan terhadap dampak negatif dari terpapar berita buruk.
Kelompok ini seperti orang tua dan lansia, remaja dan anak muda yang terlalu banyak mengonsumsi media sosial, serta orang-orang dengan tingkat literasi digital rendah dan akses informasi kredibel yang terbatas.
Kemampuan seseorang dalam meregulasi atau mengelola emosi dinilai berperan penting dalam menentukan seberapa besar dampak negatif yang mungkin ditimbulkan berita buruk, terhadap kesehatan mentalnya.
Baca Juga: Jaga Kesehatan Mental, Ini Tips Wujudkan Work-Life Balance Buat Pekerja
Pamela mengatakan, individu, institusi pendidikan, dan komunitas sosial harus aktif memberikan edukasi yang berkelanjutan tentang literasi digital dan keterampilan pengelolaan emosi.
Hal ini demi membentuk masyarakat yang lebih resilien dan siap secara psikologis, dalam menghadapi tekanan informasi di era digital yang serba cepat.
Salah satu strategi yang bisa diterapkan untuk menjaga kesehatan mental di tengah paparan berita negatif adalah dengan membatasi konsumsi informasi yang bisa memicu kecemasan, apalagi jika individu dalam kondisi yang kurang stabil.
Selain itu, penting untuk memiliki kebiasaan mencari informasi pembanding dari berbagai sumber yang kredibel, agar mendapatkan sudut pandang yang lebih objektif dan seimbang.
Kedepankan Logika dan Tetap Objektif
Masyarakat juga tak boleh langsung bereaksi terhadap informasi yang belum terverifikasi.
“Penting untuk mengedepankan logika dan bersikap objektif. Selalu cari tahu dari berbagai sumber, jangan hanya mengandalkan satu sudut pandang,” kata Pamela.
Selain itu, hindari topik-topik yang dapat mengganggu emosional seperti konflik politik atau isu sosial yang memancing reaksi emosional berlebihan.
Disarankan juga untuk aktif mengonsumsi konten-konten yang bersifat positif, inspiratif, atau membangun, untuk menjaga suasana hati yang tetap stabil dan mendorong pola pikir lebih optimistis, dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Salah satu teknik psikologis yang bisa diterapkan untuk tetap optimistis adalah dengan self-control. “Kita harus menyadari batasan antara hal-hal yang dapat kita kendalikan dan yang berada di luar kendali kita,” kata Pamela.
“Fokus pada peran dan tanggung jawab yang bisa dijalankan akan membantu menjaga semangat dan rasa optimisme,” ia menambahkan.
Berikan Dukungan Bagi Orang Lain
Memberikan dukungan emosional bagi orang-orang terdekat yang sedang mengalami kecemasan juga bisa menjadi langkah yang penting dan bermakna.
Salah satu bentuk yang mendasar namun efektif adalah dengan hadir sebagai pendengar yang baik, seperti mendengarkan keluhan, kecemasan, dan keresahan tanpa memberikan penilaian atau respon yang menghakimi.
“Sadari, mungkin mereka butuh didengarkan dan dipahami tanpa diberikan penilaian atau non-judgemental atas keresahan-kerasahan yang muncul akibat banjirnya berita negatif yang diterima,” kata Pamela.
Namun, sebelum membantu orang lain, pahami juga kondisi psikologis diri sendiri. Kesadaran ini penting untuk mencegah kelelahan emosional pada pemberi bantuan.
Dalam banyak kasus, menjadi penghubung antara individu yang mengalami tekanan mental dengan tenaga profesional bisa menjadi kontribusi yang berarti dalam menjaga kesehatan mental secara kolektif.
Menurut Pamela, ini berarti membantu tidak selalu menyelesaikan masalah secara langsung, tapi juga tindakan sederhana dan berdampak seperti mengarahkan orang ke sumber pertolongan yang tepat.
“Sebelum membantu, kita harus aware terhadap kondisi mental kita terlebih dahulu. Jika dirasa tidak siap maka hubungkan dengan profesional seperti psikolog, psikiater atau konselor,” ujarnya.