Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Tren

Riset: Gen Z Melek Teknologi Tapi Masih Gampang Terjebak Judol

Ilustrasi judi online banyak menjerat anak muda usia 17 hingga 20 tahunIlustrasi judi online banyak menjerat anak muda usia 17 hingga 20 tahun. (dok. Kemeterian Kominfo)

TopCareer.id – Meski generasi Z atau Gen Z dinilai sebagai yang paling melek teknologi, namun masalah judi online (judol) belum bisa lepas dari kelompok ini.

Hal ini seperti terungkap dalam studi mahasiswa IPB University. Tim peneliti Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) menemukan, pendidikan tinggi dan literasi digital ternyata belum cukup melindungi generasi muda dari jebakan ekonomi instan.

“Fenomena ini bukan lagi sekadar persoalan moral, tetapi cermin dari paradoks digital yang menimpa gen Z, kelompok yang lahir dan tumbuh di era konektivitas tanpa batas,” kata Zyahwa Aprilia, perwakilan tim, dikutip dari laman resmi, Rabu (28/10/2025).

Tim periset melakukan wawancara mendalam dengan sejumlah responden laki-laki usia 22 sampai 27 tahun. Mayoritas merupakan lulusan sarjana, dengan penghasilan antara Rp 2 juta hingga Rp 5 juta.

Secara sosial, mereka hidup di tengah tekanan ekonomi kota besar, kebutuhan konsumtif yang meningkat, kenaikan harga kebutuhan, sementara pendapatan belum cukup stabil.

Baca Juga: Picu Tindak Kriminal, Judi Online Masalah Serius

“Sebagian responden menyatakan bahwa judol menjadi ‘jalan pintas’ untuk memenuhi gaya hidup digital. Bukan semata karena keinginan berjudi, tetapi karena keinginan untuk bertahan di lingkungan yang serba cepat dan kompetitif,” kata Zyahwa.

Menurut peneliti, fenomena ini memperlihatkan kontradiksi. Di satu sisi, Gen Z memahami risiko digital dan sudah banyak yang menempuh pendidikan tinggi.

Namun di sisi lain, tekanan ekonomi dan lingkungan sosial membuat mereka rentan terhadap jebakan platform online yang menjanjikan keuntungan instan.

Studi juga menyebut bahwa ada pengaruh kuat budaya digital dalam normalisasi perilaku judol di kalangan Gen Z. Iklan judi daring muncul di media sosial, gim, hingga grup pertemanan.

Zyahwa mengatakan, responden menyebut judi digital bukan lagi aktivitas “gelap”, namun bagian dari hiburan daring.

Baca Juga: Kemnaker Minta Job Portal Lebih Waspada Lowongan Kerja Abal-Abal

“Main game sambil dapat uang, katanya. Kondisi ini menunjukkan bahwa literasi digital yang tinggi tidak otomatis berbanding lurus dengan literasi moral atau finansial,” ujarnya.

Ia mengatakan, akses internet justru membuka ruang bagi perilaku berisiko yang sebelumnya sulit dijangkau.

Dijelaskan juga bahwa fakta para responden mayoritas lulusan sarjana menegaskan faktor pendidikan formal belum cukup membentuk imunitas terhadap adiksi digital.

Meski memiliki kemampuan berpikir kritis, dorongan sosial-ekonomi dan budaya kompetitif di media sosial mendorong mereka mencari penghasilan cepat, bahkan melalui cara yang berisiko.

Menurut Zyahwa, kesenjangan antara kemampuan digital dan pemahaman etika digital inilah yang jadi titik lemah utama Gen Z.

“Mereka melek teknologi, tapi belum tentu siap menghadapi kompleksitas dunia digital yang memanipulasi psikologi dan ekonomi persona,” katanya.

Baca Juga: Sosiolog UGM: Negara Gagal Berantas Judi Online

Temuan ini pun mengungkapkan “paradoks digitalisasi”. Teknologi yang diharapkan memperluas akses dan peluang, malah menciptakan jebakan baru bagi mereka yang belum siap secara ekonomi dan kultural.

“Temuan ini menjadi cerminan dari banyak wilayah urban di Indonesia, cerdas, terkoneksi, tetapi rapuh di tengah derasnya arus digital,” kata Zyahwa.

Menurut peneliti, judol hanyalah satu dari sekian banyak bentuk Specific Problematic Internet Use (SPIU), perilaku bermasalah akibat penggunaan internet yang berlebihan.

Karena itu, tim peneliti mendorong agar kebijakan publik tauk cuma berhenti pemblokiran situs.

Dibutuhkan pendekatan sosial dan kultural yang lebih mendalam ketimbang edukasi finansial di kampus, hingga etika digital di sekolah.

“Gen Z tidak butuh sekadar peringatan, tapi ruang aman untuk memahami dan mengelola perilaku digital mereka. Jika tidak, paradoks digitalisasi akan terus berulang, melahirkan generasi yang pintar secara teknologi, tapi kalah oleh algoritma,” pungkas Zyahwa.

Leave a Reply