TopCareer.id – Dampak negatif dari ketidakhadiran sosok ayah atau fatherless harus jadi perhatian di Indonesia.
Fatherless sendiri bukan berarti anak benar-benar tidak memiliki figur ayah dalam keluarga. Di beberapa kasus menunjukkan kondisi ketika ayah secara emosional memang tidak hadir dalam proses pertumbuhan seorang anak.
Dikutip dari laman resmi UGM, Senin (3/11/2025), sekitar 15,9 juta anak di Indonesia berpotensi tumbuh tanpa adanya peran ayah dalam keluarganya.
Dari 15,9 juta itu, 4,4 juta anak tinggal di keluarga tanpa ayah. Sementara, 11,5 juta anak lain tinggal bersama ayah dengan jam kerja lebih dari 60 jam sepekan atau lebih dari 12 jam per hari.
Padahal, peran ayah dalam keluarga penting dalam membentuk kepercayaan diri, nilai moral, hingga kecerdasan emosi seorang anak.
Rahmat Hidayat dosen Fakultas Psikologi UGM mengatakan, fenomena ketidakhadiran peran ayah pun tak cuma dapat dimaknai secara fisik, tapi juga secara emosional. Menurutnya, ketiadaan figur ayah mempengaruhi pembentukan rasa percaya diri, hingga kesulitan dalam membentuk identitas diri.
“Banyak keluarga masa sekarang yang mengalami ketidakhadiran ayah karena faktor pekerjaan yang menuntut mobilitas tinggi,” kata Rahmat.
“Namun, kehadiran ayah tetap dibutuhkan untuk mendukung perkembangan emosional dan sosial anak,” imbuhnya.
Baca Juga: Cuti Ayah Belum Jadi Prioritas di Indonesia
Rahmat menjelaskan, tiga proses utama pembelajaran dalam perjalanan tumbuh kembang seorang anak adalah observasional, behavioral, dan kognitif.
Ketiganya membutuhkan peran ayah sebagai role model, dalam mendukung perkembangan emosional.
Pembelajaran observasional terjadi ketika anak usia dini belajar banyak hal melalui pengamatan perilaku orang lain untuk menjadi role model-nya.
Ketiadaan ayah secara emosional maupun fisik menyebabkan anak kehilangan sosok model perilaku utama, baik dalam pengendalian diri, kedisiplinan, interaksi sosial, serta sikap bertanggung jawab.
“Pertama yang paling tidak disadari adalah proses belajar secara observasional dimana anak belajar melihat, mengamati, menirukan ini sebagai satu pola yang ada sejak anak-anak, dari masa kecil, dari lahir sampai seterusnya melalui belajar observasional,” kata Rahmat.
Ia mengatakan, dalam proses tersebut yang penting adalah siapa role model anak.
Sementara, pembelajaran behavioral dilakukan melalui mekanisme pembiasaan dan penguatan perilaku positif maupun negatif. Rahmat mengatakan, tahap ini memilik unsur pengukuhan dengan pemberian reward dan punishment.
Proses ini menekankan anak dalam membentuk perilaku penguatan dan pembiasaan agar anak dapat belajar atas konsekuensi setiap tindakan yang dilakukan. Di tahap ini, ayah punya peran sebagai sosok otoritas yang mengatur batasan.
“Sosok ayah dalam hal ini memberikan penghargaan ketika anak bertindak dan berperilaku baik, sebaliknya ayah akan memberikan koreksi ketika anak melanggar suatu aturan,” kata Rahmat.
Baca Juga: Demi Jadi Bapak Rumah Tangga, Banyak Pria di China ‘Resign’ Kerja
Kemudian, pembelajaran kognitif memberikan fokus pada interaksi verbal yang mencakup percakapan dan nasihat orang tua kepada anak, yang bisa membentuk nilai moral dan cara berpikir anak.
Pembelajaran ini bisa diajarkan melalui rangkaian instruksional seperti pesan, petunjuk secara verbal, serta dialog yang mampu mengembangkan kemampuan anak berpikir kritis. Ayah di sini berperan sebagai pengarah berpikir, penalaran, hingga nilai-nilai yang membantu anak memahami dunia sosial.
Rahmat menegaskan, ketiga tahap tersebut membutuhkan figur yang lengkap.
“Tidak adanya sosok ayah jelas menghilangkan satu model peran yang memperkaya proses belajar anak sehingga tumbuh kembangnya bisa jadi tidak komplit,” kata Rahmat.
Menurut Rahmat, peran ayah dalam keluarga masih bisa digantikan secara terbatas oleh figur lain seperti ibu, guru, hingga keluarga besar yang bisa menjadi role model pengganti.
Dalam beberapa kasus, ayah yang tidak bisa selalu hadir karena pekerjaan justru tetap bisa membuat anak bangga, selama hubungan emosional keduanya tetap terjaga dengan baik.
“Anak bisa merasa bangga ketika ayahnya bekerja di luar kota atau bahkan di luar negeri, selama komunikasi dan hubungan keduanya tetap hangat,” ujar Rahmat.
Edukasi Pranikah dan Pemerataan Lapangan Kerja
Di sisi lain, pemerintah perlu berperan aktif dalam mengatasi fenomena fatherless dalam keluarga, terutama dalam edukasi pranikah pada calon pasangan, agar lebih siap menjalani tanggung jawab sebagai orang tua.
Ia menyoroti pendekatan yang lebih sistemik dan intensif dalam berjalannya program pranikah, agar tidak hanya berhenti pada kegiatan formalitas demi memenuhi proses administratif saja.
Menurutnya, ini merupakan kewajiban kepada calon pasangan agar benar-benar paham akan nilai, tanggung jawab, hingga peran yang didapatkan sebelum membangun keluarga.
“Edukasi peran dalam menghadapi pernikahan harus menjadi bagian penting sebelum membangun komitmen berkeluarga, karena seringkali kita menganggap pernikahan sebagai hal alami, padahal itu dunia baru yang menuntut kesiapan psikologis dan pemahaman peran antara ayah dan ibu,” kata Rahmat.
Di sisi lain, pemerataan lapangan kerja di daerah-daerah luar Jawa juga sangat dibutuhkan, demi menekan tingginya kasus keluarga yang mengalami fatherless.
Kondisi ini tidak bisa disalahkan sepenuhnya pada individu atau keluarga, karena ketimpangan ekonomi dan kesempatan kerja di daerah adalah persoalan struktural.
Kehadiran ayah secara emosional sangat bergantung pada stabilitas sosial dan ekonomi keluarga. Saat tekanan ekonomi tinggi dan pekerjaan menuntut mobilitas besar, interaksi emosional ayah dan anak pun cenderung berkurang.













