TopCareer.id – Riset mengungkapkan bahwa jumlah laki-laki yang putus asa cari kerja di Indonesia lebih tinggi daripada perempuan.
Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) beberapa waktu lalu menyebut per Februari 2025, sebanyak 1,87 juta orang Indonesia putus asa cari kerja.
Dalam studinya, pola gender dalam kelompok putus asa menunjukkan bahwa laki-laki menyumbang sekitar dua pertiga dari total (69 persen), sementara perempuan sepertiga (31 persen).
“Komposisi ini menarik karena berbeda dari pola umum ketidakaktifan di pasar kerja Indonesia, di mana perempuan biasanya lebih dominan pada kategori tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan,” tulis LPEM FEB UI.
Menurut para peneliti, dominasi laki-laki ini menandakan bahwa keputusasaan dalam mencari kerja lebih melekat pada kelompok yang secara sosial diharapkan menjadi pencari nafkah utama.
Tekanan norma gender ini menempatkan laki laki dalam posisi yang lebih rentan ketika proses pencarian kerja berulang kali gagal, terutama di sektor sektor yang mengalami perlambatan atau penyusutan peluang kerja.
Baca Juga: Orang Indonesia Makin Putus Asa Cari Kerja
Temuan tersebut juga sejalan dengan temuan International Labour Organization (ILO) di beberapa negara berkembang.
ILO menyebut, laki laki yang tersingkir dari pekerjaan formal kerap mengalami penurunan motivasi mencari kerja karena kombinasi stagnasi upah, kompetisi yang makin ketat, dan skill yang tak lagi cocok dengan perubahan struktur ekonomi.
Di Indonesia, sektor berintensitas rendah keterampilan yang selama ini jadi pintu masuk bagi tenaga kerja laki laki, seperti konstruksi dan sebagian industri manufaktur, menghadapi tekanan permintaan yang berfluktuasi.
“Ketidakstabilan ini membuat sebagian laki laki merasa prospek kerja yang realistis semakin sempit,” ujar para penulis studi.
Meski begitu, porsi 31 persen pada perempuan juga harus jadi perhatian. Faktor discouragement pada perempuan sering bersinggungan dengan keterbatasan struktural yang sudah lama terbentuk.
Keterbatasan itu seperti kurangnya dukungan pengasuhan, norma sosial mengenai peran domestik, diskriminasi usia serta status perkawinan dalam proses rekrutmen.
Bank Dunia mencatat perempuan di Indonesia menghadapi hambatan lebih besar dalam transisi dari sekolah ke pekerjaan, terutama karena peluang kerja formal yang ramah perempuan masih terbatas.
Baca Juga: Riset: 45 Ribu Lulusan S1 Putus Asa Mencari Kerja
“Dalam kondisi seperti itu, perempuan yang ingin bekerja tetapi berkali kali mengalami kegagalan mencari pekerjaan mudah bergeser ke posisi menyerah,”kata LPEM FEB UI.
Penulis pun mencatat bahwa keputusasaan bukan sekadar refleksi sulitnya pasar kerja, tapi juga hasil interaksi antara norma sosial, struktur kesempatan kerja, dan keterampilan yang dimiliki.
Laki-laki lebih terdorong untuk terus masuk ke pasar kerja dan ketika gagal mereka mengekspresikan discouragement secara lebih langsung.
Sementara, perempuan menghadapi hambatan struktural yang membuat discouragement mereka lebih bersifat “tenang” namun tidak kurang signifikan.
“Dari sudut pandang kebijakan, membaca pola ini penting agar intervensi tidak bersifat netral gender,” tulis para peneliti.
Laki laki membutuhkan akses peningkatan keterampilan dan informasi pasar kerja yang lebih kuat, sedangkan perempuan membutuhkan dukungan transisi kerja yang lebih ramah kebutuhan pengasuhan dan bebas diskriminasi.













