TopCareer.id – Bagi beberapa orang, fenomena ketindihan saat tidur kerap dianggap sebagai kejadian mistis atau supernatural. Namun sebenarnya, kondisi yang dikenal sebagai sleep paralysis ini punya penjelasan ilmiah.
Menurut pakar neurologis Yeni Quinta Mondiani, tidur adalah proses fisiologis yang berulang, ditandai dengan turunnya kesadaran secara reversibel.
“Ketika seseorang tidur, ia akan mengalami penurunan fungsi kognitif secara global sehingga otak tidak bisa merespons penuh terhadap stimulus sekitar,” kata dosen Fakultas Kedokteran IPB University ini.
Yeni menjelaskan, ada lima fase dalam tidur manusia yaitu empat fase Non-Rapid Eye Movement (NREM) dan satu fase Rapid Eye Movement (REM). Lima siklus ini bisa terjadi berulang kali dalam satu siklus tidur.
“Fase 3 dan 4 NREM dikatakan sebagai fase tidur yang paling dalam. Fase ini berfungsi mengembalikan kesegaran tubuh dan restorasi kondisi tubuh setelah beraktivitas,” kata Yeni, mengutip ipb.ac.id, Jumat (4/7/2025).
Baca Juga: 5 Tips Tenangkan Pikiran Jelang Tidur Buat Redakan Kekhawatiran
Fase ini secara fisiologis memiliki ambang yang tinggi untuk terbangun, dan diduga sering diasosiasikan dengan berbagai gangguan tidur seperti sleep walking dan sleep terror. Sementara, REM merupakan fase ketika mimpi bisa diingat.
“Pada fase REM terjadi hambatan sinyal motorik (untuk pergerakan) yang sangat kuat. Hanya sedikit gerakan yang muncul pada fase REM,” Yeni menjelaskan.
Sleep paralysis atau ketindihan, kata Yeni, termasuk dalam jenis gangguan tidur yang disebut parasomnia.
Parasomnia adalah keadaan yang ditandai dengan terbangunnya tidur, baik saat awal tidur maupun selama tidur, yang tidak mengubah kualitas maupun kuantitas tidur.
Yeni pun mendefinisikan sleep paralysis sebagai ketidakmampuan tubuh untuk bergerak saat awal atau akhir tidur, meski kesadaran sudah kembali.
“Sleep paralysis itu sendiri adalah ketidakmampuan bergerak pada saat awal atau akhir tidur, sementara subjek telah terbangun,” ia menjelaskan.
Baca Juga: Susah Tidur ? Coba 2 Tips Atasi Stres Ini
Gangguan ini terjadi pada fase REM, yaitu ketika seharusnya otot tidak dapat digunakan sementara subjek tertidur. “Bahasa mudahnya, pada sleep paralysis, tubuh kita masih pada sleep mode tetapi otak kita sudah aktif,” kata Yeni.
Lebih lanjut, Yeni mengatakan bahwa sleep paralysis biasanya terjadi pertama kali di isua 15 sampai 35 tahun.
Kondisi ini bisa terjadi secara acak dan dipicu oleh antara lain kurang tidur, stres, gangguan kecemasan, faktor keturunan, serta kondisi medis seperti narkolepsi.
“Sebagian besar subjek tertidur dengan posisi terlentang dan tidak dapat bergerak, sekalipun napas dan jantung bergerak secara normal. Tiap episode biasanya beberapa detik hingga menit,” ujarnya.
Selama kejadian, seseorang masih memiliki kesadaran terhadap keadaan yang terjadi. Hal ini membuat mereka seringkali diikuti perasaan takut, meski pada beberapa subjek bisa merasa sangat rileks.
Baca Juga: Kurang Tidur? Siap-Siap Ini yang Akan Terjadi pada Kulitmu
Gejala lain yang bisa muncul termasuk halusinasi, terutama jika penyebabnya adalah narkolepsi. “Hal ini bisa menyebabkan rasa takut pada subjek. Episode ini dapat berakhir secara spontan,” Yeni menambahkan.
Untuk menangani masalah ini, ada beberapa cara yang dapat dilakukan, di mana yang paling utama adalah memperbaiki gaya hidup.
Caranya adalah dengan memperbaiki pola tidur, mengatur jam tidur dan bangun, membatasi konsumsi kafein, serta makanan berlemak atau cepat saji.
Selain itu, seseorang juga disarankan melakukan exercise ringan dan mengatur perangkat elektronik di sekitar. Apabila masalah ketindihan mengganggu aktivitas sehari-hari, segeralah berkonsultasi ke dokter.
“Perlu berobat ke dokter spesialis untuk pemberian obat antidepresan, dan tata laksana untuk penyakit underlying-nya seperti narkolepsi,” pungkas Yeni.