Topcareer.id – Di era ini banyak orang suka beropini berdasarkan apa yang mereka yakini dibandingkan dengan fakta yang ada. Begitulah kebiasaan yang disebut dengan post-truth.
Di era post-truth ini, hanya membutuhkan waktu kurang dari 1 jam saja untuk menyebarkan semua isu ataupun berita sehingga menjadi viral dan melahirkan banyak berita palsu atau sering disebut hoax. Hal inilah yang menjadi tantangan para praktisi Public Relations (PR).
Tak hanya itu menurut Kepala Subdirektorat Humas Direktorat Jendral Pajak, Ani Natalia PR juga memiliki tantangan baru dengan adanya Big Data. Menurutnya Big Data ini dapat menguntungkan tapi juga dapat menjadi sumber informasi yang membahayakan sehingga penting bagi kaum millenials untuk dapat menjadi katalis bagi semua kalangan baik yang muda maupun tua dalam Post Truth Era ini.
Baca juga: Tips Bikin Siaran Pers untuk Public Relation yang Laku Dilirik Media
PR Manager Tugu Insurance, Inadia Aristyavani mengatakan bahwa kekuatan netizen sangat berpengaruh karena mereka dengan cepat dapat menyebarluaskan dan membuat gerakan untuk mendukung ataupun menolak isu tersebut. Disitulah peran dan strategi seorang PR sangat dibutuhkan.
“Netizen dengan sangat mudah memprotes melalui memberikan rating rendah, komentar buruk di akun media sosial lalu tiba-tiba saja akan keluar tagar #uninstall aplikasi ini itu”, ujarnya.
Lalu bagaimana para praktisi PR menghadapi fenomena ini?
Founder & Director ID COMM Sari Soegondo dalam acara Public Relations (PR) Rewind 2019 & Outlook 2020 di Jakarta pada Kamis (19/12/2019) mengatakan setidaknya ada 3 hal yang harus disadari oleh Praktisi PR yaitu, adanya SOP penanganan krisis dalam sosial media (Issue & Crisis SocMed handling), kemampuan membuat Digital Storytelling serta selalu memonitoring perilaku netizen dan deteksi disinformasi/misinformasi/Hoax.
“Pelajari dan terapkan teknologi, kenali audiensi, buat risetnya, ciptakan konten se-kreatif mungkin, pilih medianya dan jangan lupa jadilah muda setidaknya semangatnya”, ungkapnya.
Editor: Ade Irwansyah