Topcareer.id – Manusia sejatinya dilahirkan hanya takut akan dua hal, yakni terjatuh dan suara keras. Semua ketakutan kamu yang lainnya menyusul karena dipelajari dan dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya setempat.
Ketakutan adalah perilaku adaptif yang harus dilakukan untuk mengidentifikasi ancaman. Ini adalah kemampuan yang memungkinkan manusia untuk bertahan hidup dari predator dan bencana alam.
- Ketakutan bawaan
Seperti dijelaskan di awal, manusia dilahirkan dengan hanya dua ketakutan bawaan: ketakutan akan jatuh dan ketakutan akan suara keras.
Sebuah studi tahun 1960 mengevaluasi persepsi kedalaman rasa takut di antara bayi berusia 6-14 bulan dengan anak hewan. Para peneliti menempatkan subjek pada platform yang memiliki pembatas transparan plexiglass untuk melihat berapa banyak subjek yang benar-benar akan melangkahinya. Ditemukan baik anak-anak dan hewan memanjat untuk melangkahi plexiglass. Dari sini diambil kesimpulan rasa takut jatuh merupakan naluri dasar yang diperlukan untuk kelangsungan hidup banyak spesies.
Baca Juga: Mengenal Ergophobia, Rasa Takut untuk Bekerja
Saat kamu mendengar suara keras, kemungkinan besar kamu akan bereaksi dengan respons mode bertarung atau kabur. Ini disebut “refleks kejutan akustik,” kata Seth Norrholm, seorang ilmuwan saraf translasi di Universitas Emory. Norrholm menjelaskan bahwa jika sebuah suara cukup keras, “Kepala kamu akan otomatis menunduk.” Suara keras biasanya mengejutkan. Menundukkan kepala adalah respons alami yang memberutahukan mungkin ada sesuatu yang berbahaya di sekitarmu.
- Ketakutan yang dipelajari
Sebagian besar ketakutan diperoleh karena dipelajari. Laba-laba, ular, kegelapan, rasa takut terhadap hal tersebut dikembangkan pada usia muda, dipengaruhi oleh lingkungan dan budaya juga. Jadi seorang anak kecil tidak secara otomatis takut pada ular, tetapi dibangun berdasarkan petunjuk dari orang tuanya. “Kamu pun mendapatkan bukti dari orang tuamu dan lingkunganmu bahwa kamu harus takut akan hal-hal tadi,” kata Norrholm.
Seiring bertambahnya usia, ketakutan berkembang karena pergaulan. Norrholm membandingkannya dengan veteran tempur yang selamat dari pertempuran dengan seperangkat bom yang disembunyikan di dalam tas belanja. Jika veteran itu itu dipekerjakan kembali dan melihat tas belanjaan itu, ia mungkin akan memiliki respons untuk lari karena saat di medan perang ia diajarkan untuk menyelamatkan diri dari bom.
Ini adalah respons yang persis sama yang dimiliki seorang anak terhadap dekorasi Halloween yang menakutkan. “Ini tentang konteks,” kata Norrholm.
Seorang anak kecil mungkin tidak tahu bahwa tengkorak itu menakutkan, sampai orang tuanya mengatakan berulang kali bahwa dekorasi tengkorak itu menyeramkan.**(RW)