Find Us on Facebook

Subscribe to Our Channel

https://www.youtube.com/@topcareertv1083

Thursday, October 10, 2024
idtopcareer@gmail.com
Covid-19

Kisah Perjuangan Hidup Mati dokter bedah sembuh dari COVID-19 (Bagian 1)

dr Sriyanto Sp B

Sebuah testimoni dari dr Sriyanto Sp B

Topcareer.id – Saya seorang dokter bedah di sebuah Rumah Sakit di Wonogiri yang baru saja menyelesaikan masa isolasi. Berdua bersama anak bujang semata wayang, saya harus merasakan 12 hari “nikmatnya” ruang isolasi mulai tanggal 18-30 Nov 2020.

Alhamdulillah, saat ini kami berdua sudah sembuh dan dapat bernapas dengan lega. Bahkan saat ini kami sudah dapat beraktivitas seperti sedia kala.

Saya ingin berbagi cerita beratnya perjuangan antara hidup dan mati pada masa isolasi. Sebuah pengalaman yang tak akan mungkin saya lupakan seumur hidup.

Bagian pertama dari tulisan.

Pada 18 November 2020, hasil tes swab saya dan anak saya positif. Kami segera berangkat ke ruang isolasi di RS Moewardi, Solo

Saya dan anak saya mengalami kondisi demam dan batuk. Sepanjang perjalanan antara Wonogiri ke Solo, tubuh saya terus menggigil. Kondisi ini diperparah karena keluarga besar kami sedang mendapatkan musibah.

Ayah mertua saya yang juga dokter bedah sedang berada dalam ruangan ICU RS Karyadi Semarang karena positif COVID-19. Usianya yang sudah 78 tahun, menjadikannya sangat rapuh menghadapi serangan virus ini. Sudah ada total 8 orang dari keluarga kami yang positif COVID-19.

Sesampainya di ruangan isolasi, kondisi saya tambah buruk dengan demam yang masih tinggi. Setiap hari saya menggigil kedinginan dan bahkan setiap 6 jam sekali harus mengkonsumsi obat pamol agar tidak menggigil akut.

Baca juga: Waduh, Terkurung karena COVID-19 Bisa Pengaruhi Kesehatan

Di hari keempat masa isolasi, saya mulai batuk dengan badan terasa sakit semua. Ketika menerima telepon dari keluarga atau sahabat, batuk semakin parah, Bahasa jawanya batuk ngekel. Setiap bergerak juga batuk seperti ketika sholat yang banyak gerakan, dari ruku’ ke sujud, atau dari sujud ke berdiri, maka otomatis akan batuk. Saya sangat tersiksa dan rasanya sulit sekali untuk bernapas lega.

Di hari keenam isolasi, kondisi semakin parah. Saat itu saya sudah tak bisa merasakan indera penciuman. Bahkan tidak bisa mengunyah dengan baik. Nasi jatah makan terasa sangat keras. Saya berusaha mengunyah tapi gagal. Kerongkonganku terasa sangat sakit. Berkali-kali berusaha mengunyah nasi, tapi tak bisa sampai akhirnya saya muntahkan kembali nasi yang masih utuh itu.

Saya sampai protes ke bagian gizi rumah sakit. Saya marah karena merasa mereka tidak memasak nasi dengan benar. Saya mengira koki Rumah Sakit lalai. Saya keluarkan semua uneg-uneg ini untuk meminta penjelasan.

Betapa kagetnya ketika mendapat penjelasan bahwa itu sebetulnya nasi tersebut lunak seperti biasa. Ketika pasien lain bisa mengunyah nasi dengan baik, nasi itu terasa keras bagi saya. Saya segera tersadar bahwa kondisi ini yang menyebabkan nasi terasa keras sehingga sulit untuk mengunyah sekaligus menelan. Mungkin cairan kelenjar tidak keluar sehingga fungsi saraf menelan terganggu. Virus ini mengganggu semua fungsi mulut dan tenggorokan.

Hari ketujuh masa isolasi merupakan puncak penderitaan. Batuk yang semakin parah, ditambah dengan komorbid penyakit diabetes. Memang, sudah dua tahun ini saya harus melakukan suntik insulin novomik. Saya hampir menyerah kalah. Beberapa sahabat juga berpikir demikian karena risiko orang yang diabetes terkena COVID-19 biasanya berujung kematian.

Tetapi, malam itu sekaligus penuh mukjizat karena saya mendapat kiriman plasma dari Jakarta. Beberapa hari sebelumnya saya memang memesan dua kantong plasma. Dengan meyakini plasma dan tosilizumab adalah wasilah terampuh mengobati COVID-19, malam itu saya mendapat injeksi 1 kantong plasma.

Di samping injeksi plasma, saya juga minta disuntik tosilizumab. Saya mengutamakan pengobatan medis daripada segala saran tak jelas tentang pengobatan alternatif. Saat kondisi kritis, saya berusaha berfikir logis karena pengobatan medis sudah teruji. Itulah mengapa saya ngotot minta suntikan tosilizumab yang harganya mencapai Rp 8 juta.

Alhamdulillah, saya bisa mendapatkan 1 tosilizumab yang sangat terasa khasiatnya bekerja dengan baik. Hanya selang 6 jam pasca suntikan, saya sudah bisa makan pisang. Padahal sebelum disuntik saya tidak bisa menelan, semuanya terasa begitu keras sampai membuat saya frustasi.**(Feb)

the authorFeby Ferdian

Leave a Reply