Find Us on Facebook

Instagram Gallery

Configuration error or no pictures...

SKILLS.ID

Subscribe to Our Channel

Saturday, April 27, 2024
redaksi@topcareer.id
Tren

Penyintas Covid: Puji Tuhan Saya Terkena Covid-19 (Bagian 2)

FX. Budijuwono, Penyintas Covid-19

Makin Memburuk
Saya dirawat dengan kapasitas untuk 2 pasien. Di sini, di ruangan yang sepi. Tak ada siapa-siapa. Yang ada mikrofon dan CCTV, ada sebuah TV kabel, akan tetapi tidak berminat untuk nonton, karena hanya untuk istirahat. Langit-langit putih, pintu dengan ada jendela kaca kecil tembus pandang tanpa tirai sebagai pengganti dinding dipasang mati. Sehingga perawat dan dokter dapat mengintip keadaanku, saya merasa nyaman, sehingga membuat hati ini menjadi lebih lega.

AC kembali menusuk. Badan saya tetap basah. Kerongkongan kering, bibir pecah. Batuk bertalu-talu. Dada perih, napas tersengal, amat sesak. Lalu pengecap rasa dan penciumanku hilang. Lengkap sudah ciri-ciri covid-19

Oksigen yang terpasang statis di dinding harus 24 jam terpasang di hidung. Karena itu, saya takkan bisa turun ranjang. Jika harus ke toilet saya harus bel perawat via intercom agar dilepas selang-selang itu untuk sementara waktu. Pertama kalinya dalam sejarah hidup, seperti ini, dan semoga ini yang terakhir. Perawatan pasien covid ternyata memang intensif, di luar dugaan.

Infus saya ditambah. Obat-obatan diberi tanpa jarak. Tensi dan oksidan dalam darah diukur dengan Oximeter, detak jantung, dikeker berulang-ulang. Suhu tubuh. Semua. Ditanyai, apa yang terasa. Suster mencatat. Jika ada 3 orang berbaju hazmat datang, itu salah satunya dokter. Dokter umum, atau dokter spesialis. Pasien diperhatikan sejak pukul 06.00 sampai pukul 01.00. Bahkan menjelang subuh pun mereka datang ke ruang perawatan kembali mencatat tensi, suhu dan saturasi darah.

Namun kadang Dokter masuk hanya lewat speaker pengeras suara kamar. “Pagi Pak Budijuwono, saya dokter Anda bagaimana kondisi Bapak hari ini?” Suaranya terdengar lantang dari intercom yang dipasang di atas dinding. Tapi, saya agak susah menjawabnya sebab suara saya parau dan terbata-bata. Saya jawab saja sekuat yang bisa.

Saya juga harus jeli membedakan, suster, pria, wanita, dokter, pemberi makanan, tukang sampah atau pembersih kamar. Ini, karena pakaian mereka sama. Putih dan menutupi sekujur tubuh, tak terlihat perbedaan profesi karena seragam. Pandangan mereka pun terhalang karena kacamata tukang las itu, berembun pula. Yang bisa dibedakan dari suaranya saja, jika bass ya laki-laki, jika sopran itu perempuan.

Batuk kian menggila apalagi kalau diajak bicara padahal saya tak ada riwayat TBC, jantung, paru. Saya pasrah, tak boleh menangis, tetapi beruntung saya tidak masuk ICU. Sementara teman saya harus masuk ke ICU, air matanya berderai, saya tidak tega melihatnya. Teman saya berusaha menolak, tapi dijelaskan dengan rinci. ICU itu berbeda dengan kamar perawatan. Ini satu ruangan untuk satu pasien. Mendengarnya saja sudah miris … semoga aku tidak menjadi penghuni di sana.

Darah saya beberapa kali diambil. Hampir tak ada lagi tempat untuk menusukkan jarum di tangan dan di kaki. Kini giliran mengambil darah vena. Lama suster mencari-cari dimana akan diambil. Beruntung urat darahku mudah dilihat dan dicoblos oleh jarum. Saya pasrah saja. Yang penting hasilnya menunjukkan kemajuan bahwa saya bisa cepat pulang dan beristirahat di rumah saja.

Belum habis kaget saya, karena saya diambil darahnya untuk pemeriksaan kimiawi darah tak lama berselang datang lagi seorang suster. Ia membawa kotak lain. Ini untuk merekam jantung dan paru. Meski para wanita, mereka sesuai job, melaksanakan tugas dengan professional. Tak peduli alatnya sebesar dan seberat apapun. Sambil dirontgen dan sambil rekam jantung, saya memberikan pujian kepada perempuan muda hebat ber APD itu. Tak lama keduanya pergi, meninggalkan saya yang nyaris tak percaya. Ada wanita muda bekerja seperti ini. Siapa yang tahu?

Sepi lagi. Inilah rasa sepi yang paling dalam. Saya ditemani bunyi alat-alat medis penyambung hidup. Dada seperti dikukus. Tiap batuk, dada terasa ingin meledak. Beruntung tidak sampai berdarah. Saya hanya berdoa dan berdoa agar penderitaan ini segera berlalu. Saya berharap tak ada bunyi-bunyian dalam nafas saya seperti orang berpenyakit bengek. Huft saya melamun terlalu jauh.

Tiba-tiba HP yang berbunyi. Meraihnya di meja dengan tangan terpasung alat saja susah bukan main. Namun, saya sangat merasa “tertolong”. Sebuah video call kawan-kawan SMA. Saya “terisi”, disaat sedang galau dalam ruang sempit yang putih. HP saya pegang bergantian dengan dua tangan. Tangan saya sudah bertali-tali infus, satu lagi, pakai saturasi, alat ukur detak jantung. Genggaman tangan tak sekokoh waktu sehat.

“Tetap semangat ya Bud. Kamu kan yang biasa tabah, pasti bisa kamu lalui. Kita punya agenda kumpul lagi bersama yang harus dieksekusi dan itu harus bersama-sama elu,” papar semua teman sekolah bergantian dengan whatsaap video. Saya seperti sedang berlari-lari lapangan basket sekolah dulu, tiba-tiba seperti kembali pada masa muda yang semangat dan riang. Bahkan ada yang mengirimkan tahu susur dan kopi hangat. Terima kasih kawan-kawan yang baik.

Tak hanya teman, kakak dan adik saya pun memberikan apa yang bisa mereka berikan. Termasuk barang-barang yang tak terbawa. Karena ini rumah sakit swasta, mereka bisa kirim via gojek paket online, tak seluruh keperluan pasien disediakan. Beruntung setiap hari dimanjakan dengan tawaran ganti sarung bantal, seprai atau selimut. Botol air mineral ukuran besar dan juga termos air panas serta tisu, handuk mandi yang bersih, dan peralatan mandi.

Dengan tepat waktu antar makanan 3 kali sehari. Kalau mau bicara tekan bel tapi datangnya memang agak lama, karena ruangan mereka jauh. Tak pernah mengeluh, yang sering malah saya. Mereka tak hanya mengganti pakaian saya, tapi juga alas kasur sarung bantal dan selimut.

Setiap pagi dan malam selalu berdoa dan berdoa, serta membaca kitab suci, kegiatan diisi dengan menulis di buku harian yang dikirimkan oleh sahabatku. Tidak ada yang lain kecuali nulis, doa dan tidur karena obat dan juga badanku tidak memungkinkan melakukan macam-macam kegiatan lainnya.

Puji Tuhan, pada hari ke delapan semenjak aku dirawat, hasil swab negatif. Saya sudah negatif, tapi ini corona. Corona itu, menikam paru-paru manusia. Membuat sarang di sana, melilitnya. Hingganya dokter specialis paru punya protokol, saya harus swab sekali lagi, untuk mengkonfirmasi bahwa saya sudah sehat dan bebas covid.

Bersambung ke artikel bagian ke-3…

the authorRetno Wulandari

Leave a Reply